8.12.13
12.11.13
6.11.13
Gue mengikuti sebuah akun Twitter yang cukup terkenal yang concern untuk memperkenalkan bahasa dan kebudayaan di dunia, bahkan sempat mengikuti komunitas mereka dan 'menaruh nama' sebagai pengurus regional, tetapi tidak bertahan lama, karena ternyata gue nggak begitu memiliki visi yang sama dengan ini komunitas.
Sesuai namanya, akun ini bermaksud memberikan fakta-fakta tentang kebahasaan dan pengetahuan tentang banyak bahasa, gue cukup senang membaca tweets dari akun ini karena personally menambah wawasan gue di vocabulary dan grammar bahasa lain, tetapi semakin ke sini, beberapa tweets-nya malah tidak sejalan dengan namanya : Bahasa Dunia! dan bio-nya yang bertuliskan "Language Activist".
Mengapa gue bilang nggak sejalan, alias nggak konsisten? Karena begini:
1. Bahasa dunia itu ada banyak sekali. Menurut BBC Languages, ada sekitar kurang lebih 7000 bahasa. Mengapa yang dibahas hanya bahasa-bahasa populer dipelajari saja?
2. Harusnya, sebagai (yang bilangnya) "Language Activist" akun ini bisa nambah wawasan banyak orang di sana tentang adanya 2471 bahasa yang terancam keberadaannya di dunia karena bentar lagi punah. UNESCO Atlas of the World's Languages in Danger memetakan, ada 146 bahasa di Indonesia yang ada di tingkat vulnerable dan sudah termasuk 2 bahasa yang sudah punah.
Lihat dua tweets terakhir obrolan insan ini? |
4. Tweet yang dilontarkan di atas bilang bahwa: “Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa, cekoki saja dengan bahasa asing.” Menurut gue tweet ini kontradiktif, apalagi akun itu menamakan dirinya Bahasa Dunia dan membuka semacam les bahasa asing di banyak tempat dan mengajak pengikut akun ini untuk belajar bahasa asing, jadi akun ini ingin menghancurkan sebuah bangsa? Apakah seorang aktivis cara bicaranya seperti ini? Sampai tulisan ini di-publish, tweet ini belum dihapus.
Menurut pandangan gue, makna kata ‘aktivis’ itu strong banget. Nggak bisa kita ngaku-ngaku “Gue aktivis,” karena menjadi aktivis itu butuh dedikasi. Gue berpendapat, dedikasi itu perlu pengakuan orang banyak dan benar-benar memahami bidang di mana ia aktif itu secara mendalam, ya semacam expert gitu, biasanya pun aktivis nggak nyadar kalau dia aktivis sebelum ada orang yang nyebut-nyebut “Dia aktivis.”.
Beda dengan enthusiast, semua orang bisa mengaku enthusiast karena dia antusias di bidang itu dan sedang/ingin belajar, atau bahkan memang sebenarnya sudah ahli tetapi memang mencoba rendah hati, hehehe (ada beberapa dosen gue yang menaruh kata enthusiast di bio-nya padahal gue tau dia udah ahli di bidang itu banget). Enthusiast bisa menjadi aktivis loh tanpa disadari, kalau dia antusiasnya dengan bidang tertentu konsisten dan dia dengan senang hati, dengan ikhlas mengerjakan, memelajari hal yang ingin dia dalami tersebut, serta jangan lupa, membuat aksi nyata tentang apa yang ia dalami tersebut.
Kalau menurut gue ya, menjadi aktivis itu harus rendah hati, open-minded, berjalan di samping dan bukan di depan, merangkul dan bukan merasa paling benar. Sepengalaman gue bergaul dengan teman-teman yang real activist, semua bidang aktivisme menurut mereka penting, hanya saja memang setiap aktivis harus bisa fokus di satu bidang sebagai bentuk mendukung bentuk gerakan aktivisme lain. Tujuan aktivis itu juga bukan berkuasa, tapi bisa melihat sisi positif dan negative secara seimbang dari suatu hal dan mengharmonisasikannya di dunia maupun di lingkungannya dengan baik untuk kehidupan yang lebih baik.
Itulah mengapa, menurut gue, penting banget untuk berhati-hati dalam menulis di sosial media, karena pastinya akan banyak multitafsir dari pengikut akun atau teman-teman kita. Menunjukkan kepribadian yang asli, berpendapat tentang apa aja boleh banget dan bebas sekali di media sosial, tapi juga seharusnya kita bisa menekan arogansi, lebih objektif lebih baik, apalagi jika akunnya diikuti oleh banyak orang, semakin terkenal harusnya semakin berhati-hati dalam berkicau, harusnya semakin ‘merunduk’ you know, peribahasa “Padi makin berisi makin merunduk”?
(Again, bagi pemilik akun ini gue ucapkan selamat dan sukses, karena gerakannya semakin besar ekspansinya, semoga ke depannya gerakan ini nggak sekedar bergerak ke belajar bahasa dan sharing tentang kebudayaan aja tapi juga dipertajam dan memperdalam studi kebudayaannya, kalau bisa based on culture journals dan tulisan-tulisan para ahli budaya dan linguistik biar makin mendalam memberikan fakta dan mengedukasi.)
21.10.13
I am an Indonesian female who was born in 1994. I grew up in a very kind family that teaches me a lot about life, because we were upper-middle class and turned upside down when the father and the mother stopped working in the same time, got debts, and now trying to start all over again with efforts to become closer to God. I went to various kinds of academic environment: I spent my elementary years in with bourgoises, kids that mostly came from rich family, experience different kinds of bullying every year, but the school itself taught me very well and shape me. In middle school I was a mediocre in a strong peer-group environment and the school helps me adaptating with middle class life. Then, in high school, I was something, even every year of my high school life I made myself proud of the achievements I got, it was my golden years so far, I went on an student exchange for free for a year, I compete in a lot of competitions and win big time, I join great organizations, I led an internationally funded community development project, became a young journalist in a national youth magazine, became a young reporter and announcer for a national radio private news station, I met great people and get great connections, it's all outside of my mediocre high school that just helps me to get diploma I need, and somehow helps me to easily do those activities without minding academic too much. Then now, I enroll psychology major in one of prestigious universities in the country, although I found out my passions in writing, cultural research, fine arts, and travelling already and I have a dream that I can become an anthropologist or a travel writer, although since I know my real passions I know for sure I want to take anthropology as my life even I already have plannings for my life, until the national public university enrollment test result said that I got psychology for major for me to study for approximately four years, after months, I realize that I face the personality and confidence deficiency, probably because of I still cannot fit in to the academic community, false consciousness, or I still cannot face the reality that maybe God want to be sincere for all of this. And here I am on a 19 going on 20 dilemma and doubts of everything, I know I am a bright person, I have very high potential for many things, it's for me to choose my own path of life, I don't want to drown in fallacies that I put myself into. I am curious, what will be the next chapter of my life after I wrote this crap. Thank you and good night.
Sincerely,
19-year-old self. (whose soul is trapped and not passionate by the time she's writing this)
8.9.13
Di sekitar kita ternyata banyak sekali orang inspiratif, siapapun dia, sedekat apapun dengan lingkungan kita, kalau kita nggak peka sama inspirasi sekecil apapun yang diberikan, kalau kita nggak perhatian ke lingkungan kita, kalau kita nggak terbuka pikirannya, kita akan melewatkan banyak pelajaran berharga untuk hidup kita, kita jadi memperlambat perbaikan diri kita, kita yang rugi.
31.8.13
Sudah tiga bulan lamanya gue nggak menulis. Benar-benar suatu prestasi yang tidak membanggakan sama sekali.
Apa kabar? Gue harap, blog ini masih punya nyawa, setidaknya hidup bersama post-post lama yang ada. Agak awkward rasanya menulis lagi di sini. Bahkan gue aja lupa cara berbahasa gue yang asli dan paling asyik untuk ngeblog apa. Things going on since May. Terakhir post adalah ketika gue mendapat kabar bahwa gue nggak dapat SNMPTN Undangan, hal itu cukup bikin gue down dan kehilangan gairah untuk melakukan banyak hal, mulai dari menggambar, membaca, sampai menulis. Menyanyi, tiga bulan ini, benar-benar satu-satunya media pelepasan stres gue, apalagi sejak tayangan Stand Up Comedy Indonesia di TV juga sudah mulai jarang gue tonton.
Libur panjang ini, gue struggling untuk bisa berkuliah di universitas impian, atau setidaknya, apapun kesempatan yang Tuhan kasih, gue udah pasrah dan tetap akan berusaha maksimal. SBMPTN gue lalui pertengahan Juli kemarin, di sebuah SMA dengan angka yang, bisa dibilang, memang angka keberuntungan, nomor peserta SBMPTN gue aja banyak mengandung angka keberuntungan, hehehe. Bukannya percaya takhayul angka, tapi enath kenapa, angka-angka yang menurut kita bagus ada saja rezeki dan serendipity yang akan berjalan di situ. Selain itu, gue juga sempat ikut SIMAK. Gue milih Antropologi Sosial UI di pilihan pertama di SNMPTN Undangan dan SIMAK, khusus SBMPTN, gue dan nyokap membuat kesepakatan untuk memilih Psikologi UI di pilihan pertama, disusul Antropologi UI dan UGM.
Di sela SBMPTN dan SIMAK, gue juga magang di penerbit PlotPoint sebagai admin media sosial. Pikiran gue pun dengan sukses terpecah, antara persiapan dan hasil tes perguruan tinggi dengan beban pekerjaan di kantor magang. Di kantor magang, gue juga bertemu dengan orang-orang hebat yang mendukung perkembangan diri gue banget. Di sana pula lah, gue bertemu dengan ukulele dan belajar bermain untuk pertama kali.
Gue juga sempat stress di minggu-minggu menjelang pengumuman SBMPTN, sangat menekan pemikiran dan sempat terjadi mental breakdown. Bahkan sempat ada indikasi gejala gangguan kesehatan mental, yang sampai sekarang pun masih dalam penyelidikan apakah gue benar punya gangguan itu (please jangan ada yang takut sama gue). Pengumuman SBMPTN menjelang bulan puasa pun menjadi obat.
Beberapa waktu berselang, di pengumuman SIMAK UI, tidak lulus. Memang, mungkin memang sudah jodoh gue di Psikologi UI.
Selain itu, ada dua event yang gue lalui di tiga bulan ini. Pertama, Team Building Pengurus Taman Baca Bulian, di mana pertama kalinya menginap bersama teman-teman baik tercinta dari Taman Baca.
Ada juga Orientasi Nasional INAYpSch 2013 bersama keluarga AFS, di mana gue jadi panitia Akomodasi dan Konsumsi untuk mengorientasi adik-adik yang akan berangkat untuk program AFS dan YES ke belasan negara tahun ini. Yang terakhir cukup exhausting, karena event 10 hari yang memakan tenaga, pikiran dan tanggung jawab tinggi ini dibarengi dengan Orientasi Belajar Mahasiswa di UI, jadi harus bolak-balik site Orientasi AFS dan ke UI, back and forth. Jadi kontribusi gue di Orientasi AFS sangat merasa kurang maksimal dalam membantu, again, gue pun sempat mental breakdown 10 hari itu. Tapi Orientasi AFS ini gue belajar banyak sekali hal dan bikin gue belajar untuk lebih ikhlas dan lebih terbuka untuk berbagai hal, selain itu koneksi pertemanan gue juga bertambah, setidaknya, gue udah nggak sesungkan itu lagi sama kakak-kakak AFS.
Dan yang terakhir gue kerjakan, dan baruuu saja selesai adalah rangkaian Kegiatan Awal Mahasiswa Baru Universitas Indonesia dan rangkaian untuk Fakultas Psikologi masih berjalan sampai 27 September nanti. Untuk di tingkat fakultas, akan ada Program Penyesuaian Diri, tetapi I still have no clue about it though. Bersama kawan-kawan baru di Psikologi UI, gue yakin gue bisa survive jadi Maba dan bisa menyesuaikan diri di lingkungan dan sistem baru di universitas. Gue bangga bisa punya teman baru seperti kawan-kawan Psikologi UI 2013 :)
Di UI, gue punya rencana buat ikut beberapa UKM atau kegiatan, karena pilihan yang banyak, gue belum berani bercerita, apa yang akhirnya gue pilih dan gue akan geluti, makanya, jadi surprise aja ya. Tunggu cerita selanjutnya! #halah *berasa artis*
Sementara gue ingin menyesuaikan diri, kembali ke hobi lama, membangkitkan diri gue yang lama, yang cinta membaca dan menulis, membiasakan diri dengan menulis. Gue tau gue bisa kembali. Hanya butuh waktu untuk menyembuhkan diri lagi, hanya perlu bersabar saja.
Satu kata buat kita semua.
SEMANGAT!
30.5.13
Aku gue aku
Gue mengaku
Aku menggue
Kenapa gue mengaku aku
Sementara aku ke gue aku
Gue aku
Gue itu aku
Gue tak ingin terus aku
kalau semua tentang aku
yang lain kan juga "aku"
Di atas juga ada Aku
Aku tak cuma gue
tak ingin terus aku
Gue mengaku
Keakuanku
Gue mau
Pergi dari banyaknya aku
di diriku
27.5.13
I just don't accomplish one of my life target, but who cares? There's another way right?
But,
Do you ever wonder,
how if you can't have things that you planned to have and you know (or you think) that you're competent enough for having it?
You never know about future anyways.
What are you going to do?
Where are you going then?
I am thinking about this right now, why don't you?
25.5.13
Gue hampir selalu menjadi minoritas di berbagai kesempatan.
Bahkan di saat gue jadi bagian dari suatu mayoritas, gue akan selalu menjadi anggota yang paling berbeda di dalam kelompok mayoritas tersebut.
And I'm getting used to it.
Ketika temen-temen gue masih suka jalan-jalan ke mall, jalan-jalan, makan-makan, dress like hipsters, make fun about exes and falling love with strangers.
Gue sukanya berkutat di perpustakaan, bersama buku gue, atau melakukan kegiatan volunteering atau sibuk menulis dan ikut lomba. Kalau nggak, I prefer stay at home to watch movie by my self in my portable DVD.
Ketika temen-temen gue dan jutaan siswa SMA yang berumur sama dengan gue sibuk mempersiapkan UN dan ketar-ketir saat kelas 12 di tahun 2012
Gue malah leha-leha belajar asyik di negeri orang bersama 92 teman lain di tahun 2012
Ketika temen-temen gue mudah sekali mencari sahabat sehati sejiwa setiap kali masuk sekolah dan mereka menikmati masa sekolahnya.
Gue baru menemukan sahabat-sahabat gue ketika gue keluar dari lingkungan sekolah dan gue jujur aja nggak begitu menikmati masa-masa sekolah gue.
Dan lagi,
Ketika temen-temen gue sibuk pacaran, sibuk putus nyambung dan cari gebetan. Gue udah capek mikirin hal yang begituan, padahal belom pernah pacaran. #lho
Oke, skip!
See?
Despite of my 'sad' stories about always being a minority, makin ke sini gue baru nyadar kalau, menjadi minoritas atau menjadi mayoritas dari suatu kelompok itu adalah tergantung pemikiran dan juga kemauan lo sendiri.
Bahkan, menjadi mayoritas atau minoritas itu bisa juga karena keberuntungan lo. Misalnya ketika lo ikut suatu seleksi atau lomba, kan yang akan terseleksi jadi yang terbaik hanya sebagian kecilnya kan?
Atau saat kelulusan, malah yang beruntung itu kalau lo lulus dan anak yang lulus itu 99%nya sementara yang 1% itu minoritas yang kurang beruntung.
Nggak semua orang berani jadi minoritas dan nggak semua orang pula nyaman menjadi mayoritas kan?
Setiap sisi punya kelebihan dan kekurangan masing-masing:
Mayoritas
Enaknya
- Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing ;)
- Suaramu besar dan sangat berpengaruh. Karena yang bersuara sama denganmu itu banyak orang.
- Nggak perlu capek-capek buat adaptasi
Gak Enaknya
- Harus pintar-pintar menjaga perkataan dan tindakan ketika masuk ke kalangan minoritas. Yah adaptif lah.
- Kadang kalau termasuk mayoritas, ketika lo ngomong satu hal yang beda dikit, lo bisa aja will be looked down into sama yang lain.
- Karena lebih komunal gitu, pemikirannya jadi gak begitu bebas dan nggak bisa stand out. Bisa jadi perkembangan diri atau prestasi mereka stagnan aja ketika mereka terlalu nyaman jadi mayoritas.
Minoritas
Enaknya
- Karena jumlah orang tidak sebanyak mayoritas, maka biasanya para minoritas akan lebih cerdik dan pemikirannya bisa lebih jalan untuk mengakali bagaimana caranya survive dan stand out
- Nggak banyak saingan karena persaudaraan antar anggota erat. Mudah dikenal sama orang lain juga
- Mental lebih kuat untuk menghadapi semua hal yang datang dari kelompok mayoritas.
Gak Enaknya
- Jumlahnya yang sedikit dan terlihat lebih aneh dari kebanyakan orang (in any kind of weirdness) bikin mudah dihujat sama orang yang masih nggak biasa dengan orang macam ini
- Harus caper, SKSD, apapun yang usahanya lebih ekstra untuk convince people bahwa mereka layak dan sangat sayang untuk dilewatkan apabila tidak dijadikan teman. *true story*
- Selalu diunderestimate
Back again, yang gue cantumin adalah berdasarkan pengalaman yang gue alami ya. Kalau ada yang punya pendapat lain silakan loh.
Entah kenapa, gue lebih menikmati diri gue sebagai minoritas. I just love it. Gue ngerasa bahwa unsur individuality lebih keluar ketika lo jadi minoritas dan lo dengan atau tanpa disadari akan struggling lebih sehingga menghasilkan hal-hal yang bahkan lo sendiri nggak nyangka.
Walau benar kejadian, orang-orang minoritas di Indonesia banyak yang tertindas dan lain-lain, HEY, mereka mencoba bangkit dari keterpurukan yang pernah dialami loh, dan mereka lebih belajar dari pengalaman mereka untuk jadi orang yang lebih baik di masa depan.
Coba, orang sukses lebih sedikit dari pada orang yang nggak sukses atau kebalikannya?
Kalau menurut lo gimana?
22.5.13
20.5.13
Bahkan gue sudah gak inget kapan terakhir kali nulis fiksi atau esai, atau artikel, apalah itu.
Yang gue tau sampai bulan lalu, gue harus mendapatkan nilai bagus di UN dan bisa masuk universitas yang gue idam-idamkan sejak gue SD.
Which is, okay.
Tapi setelah UN, kelelahan gue untuk belajar sangat pintar membunuh hobi-hobi gue karena dia berhasil membuat gue hampir melupakan hobi-hobi gue dan menyulap gue menjadi seorang adolesen yang malas dan kurang kerjaan.
Saking kurang kerjaannya, gue sampai berpikir aneh-aneh tentang banyak hal, bahkan tentang diri gue sendiri. Bahkan secara ekstrem ingin mengubah diri gue, tapi selalu gagal. Itu semua buah dari kurang kerjaan gue.
Gue aja sekarang mati suri juga ngegambarnya karena bingung, semua wayang yang ganteng dan cantik gue udah gambar. Gue mencoba gambar raksasa tapi... entah kenapa stuck aja.
Menulis juga gitu. Thought Book gue hampir gak pernah diisi setelah UN, bahkan gue udah hampir gak pernah ngetwit karena nggak tau mau nulis apa di Twitter. Seakan, gue kena writers block (dan memang sudah kena sih) dan writers block adalah penyakit yang sejauh ini paling mematikan yang pernah dialami gue seumur hidup, gue pernah kena chikungunya, tapi penyakit itu bullshit dan bahkan tidak lebih berbahaya dari writers block. Karena writers block membunuh produktivitas dan semangat berkreasi gue, yang membuat gue gak bisa living life to the fullest.
Terus terang, gue malu, sedih, bingung.
I was so passionate.
Kenapa gue sendiri nggak bisa berperang melawan writers block ini.
Yang ternyata terus-terus gue salahkan
Ini bukan semata-mata karena writers block, ini pasti ada faktor-gue.
Malas.
Ada yang tau racun pembunuh malas secara cepat?
Eutanasia khusus kemalasan mungkin?
Setelah kemarin gue bertemu dengan teman baik gue yang sedang semangat-semangatnya ikut lomba menulis di mana-mana, walau dia punya motif lain, tapi who cares, he's writing with his passion gitu. Sementara kemarin di seleksi tahap dua AFS Jakarta, gue kebagian meng-observe seorang peserta cewek, namanya Ayunda, yang passionate untuk menulis dan sudah menerbitkan 14 buku seri Kecil-Kecil Punya Karya. Walau kabar baiknya dia bilang sendiri bahwa gue keren, dia sering baca blog gue dan terinspirasi dari gue, tapi tetap, gue hanyalah seonggok butir debu yang bahkan bisa muksa dengan tidak berarti, kapan saja.
Fiksi-fiksi gue sebagian besar tidak ada yang pernah selesai.
Semuanya karena gue menyalahkan writers block.
Tapi kalau semua penulis bisa menyelesaikan tulisan-tulisannya, kenapa gue nggak bisa?
Premisnya:
1. Gue adalah penulis
2. Semua penulis bisa menyelesaikan tulisan-tulisannya
Kesimpulannya:
Gue bisa menyelesaikan tulisan-tulisan gue.
Bagaimana mengimplementasikan silogisme itu di dunia nyata?
Ya, gue harus membangkitkan gairah menulis dari dalam kubur.
Menepis semua kenyataan bahwa writing devices (or drawing devices) gue terbatas karena gue gak punya gadget atau apa lah. Alasan apapun tidak diterima. Gue harus menulis.
Pusara ide yang lama mengendap, harus gue keruk.
Dengan apa?
Dengan semangat lah, masak dengan buldoser.
3.5.13
Oh iya, semua gambar di sini terinspirasi dari serial komik Wayang Purwa tahun 1956 karya Ardi Soma (yang diterbitkan kembali tahun 2002) dan gue modernisasi. Enjoy once again :)
Dewi Citrawati |
Lovers |
Women Mercenary |
colored Princess |
Dewi Anjani, Hanoman's mother before turned into a white monkey |
Raden Sumantri, an excellent warrior |
29.4.13
Terus, gue nganggur. Dengan gue nganggur, gue kembali ke hobi lama gue, hobi yang sangat lama gue belum tekuni lagi yaitu gambar. Terakhir kali gue gambar (yang menurut gue) bagus dan niat itu setahun lalu di kelas Art SMA Amerika gue, ya udah, sekarng gue balas dendam, gue gambar lagi dan gue bikin karakter wayang, inspirasinya dari Komik Wayang Purwa.
Check this and please, I need critics. Gambar gue sebenarnya nothing hehe.
Dewi yang kabur dari khayangan |
Dewi yang galau |
Dua bangsawan muda, sepertinya mulai saling menyukai |
Interpretasi gue tentang Arjuna Sasrabahu. Cukup mirip yang ada di komik (menggambar ini setelah nonton World of Wayang) |
Sang putri raja |
25.3.13
Ada lagi alasan untuk kita nggak jelek-jelekin Malaysia sebagai maling, ini dia poin-poinnya:
- Dari mana akar Bahasa Indonesia? Melayu Riau. Orang Malaysia sebagian besar terdiri atas suku apa? Melayu. Jadi ibaratnya Malaysian is the English people (karena Melayu baku) dan Indonesia is the Americans (karena Melayu-nya sudah mengalami perkembangan) iya nggak?
- Rendang diklaim Malaysia, sewot? Nggak perlu. Kalian tahu the state of Negeri Sembilan di timur Malay Peninsula? Sebagian besar penduduknya terdiri dari keturunan Minangkabau, dan you know what, Rendang itu punya orang Minang, bukan totally Indonesian kan jadinya?
- Reog diklaim Malaysia, sewot? Siapa juga sih yang pernah ngeklaim? Orang di Malaysia ada settelement keturunan Jawa Timur gitu, mereka cuma mencoba melestarikan kebudayaan leluhurnya di tanah tempat tinggal, bukan ngejadiin identitas negara. Salah satu Menteri Malaysia aja orangtuanya berasal dari Ponorogo.
- Tari Pendet diklaim Malaysia? Siapa juga sih yang pernah ngeklaim? Orang itu salahnya Discovery Channel masukin tarian itu ke iklan pariwisata Malaysia, bukan salah orang Malaysia kan?
- Batik diklaim Malaysia? Kapan? Orang udah didaftarin sebagai Warisan Dunia dari Indonesia kok, harusnya bangga dong dipakai Malaysia, mereka mengagumi keindahan seni kita, tuh Nelson Mandela hampir setiap event pake Batik kok gak ada yang sewot?
- Sipadan-Ligitan? Nggak usah dibawa dendam ah, orang itu kita sendiri yang ingin bawa ke Lembaga Arbitrasi Internasional kan? Lagian cuma berapa pulau sih, dua atau tiga, ya sudah lah. Kita masih punya 17508 pulau buat diurus, kalau ada negara lain mau ngeklaim, capek juga kaliiii.
5.3.13
SAYA SUDAH LUPA CARANYA NGEBLOG
karena apa?
KARENA SAYA HARUS PERSIAPAN UAS DAN UAN
ya sudah, kalau sempat saya akan banyak bercerita, karena selama persiapan US dan UN ini tidak ada cerita yang menarik, isinya belajar doang, lu pasti gak bakalan suka.Eh, ada deng.
Soal Stand Up Comedy Indonesia Season 3 di Kompas TV yang seru parah suka banget gueee, itu doang. Tapi ntar aja dah ceritanya.
Doakan saya ya. Love you!
31.1.13
Serius, ini melatih konsistensi saya dalam menulis, reviewing, gak malas untuk bercerita, mengekspresikan hal-hal dalam diri, pokoknya semuanya.
TERIMA KASIH
Sampai jumpa di post-post absurd saya berikutnya ya.
Sabagai penutup, saya akan memberikan sebuah lagu yang juga absurd dari Lonely Island berjudul Threw It On The Ground. PECAHKAN SAJA SEMUANYA BIAR RAMAI DAN KARENA KITA TIDAK SESUAI DENGAN SISTEM :) Keep writing, breakthrough!
26.1.13
(jujur, saya masih belum mengerti poin terakhir)
3. Your life is a friend zone.
Alright okay, alright, you're right.
.................
24.1.13
- Chanson competition (French Cultural Center, South Korea), Winner (1989)
- Festival de Jazz de Montmartre (France), Second prize (1998)
- France St-Maur Jazz (France), Winner (1998)
- Concours national de jazz de la Défense (France), Special Jury Prize (1999)
- This year's jazz singer award (South Korea), Winner (2000)
- The 1st Korea Pop Music Awards for Best Crossover (2004)
- Antibes ‘Jazz a Juan’, Winner (2005)
- Today's popular music Awards Young Artist Award, Winner (2005)
- 6th Korea Best Pop Music Jazz Album Award (2009)
- Chevaliers of the Ordre des Arts et des Lettres (2009)
- BMW Welt Jazz Award, Second prize (2010)
- The 8th Korea Best Pop Music Jazz Crossover Jazz Album, Winner (2011)
- Eco-Jazz foreign female artists of the year, Winner (2011)
OH GOD, KEMANA AJA GUE SELAMA INI.
22.1.13
Iya kan? Banyak anak yang masuk pertama kali ke sekolah, lugu, gak neko-neko, lurus-lurus saja, setelah lurus malah jadi berandal dan nggak tambah pintar karena pergaulannya. Lagipula upil kan output dari ngupil, dan itu jorok, kita nggak maupun punya output yang 'jorok', apalagi buat hidup kita sendiri. What a cool analogy :D
Oke, bukan cuma perlakuan guru pada anak terlambat yang seperti itu yang saya mau garisbawahi.
Saya akan cerita sedikit. Hari Senin tanggal 21 Januari 2013 adalah hari di mana pertama kalinya dalam sejarah masa SMA saya, saya datang terlambat ke sekolah karena, again, saya harus menyalahkan commuter line, yang memang lagi trouble pascabanjir. Saya datang terlambat bersama dua teman saya dan satu guru yang sama-sama tinggal di Depok. Saat saya datang, sang guru dengan asyiknya melenggang masuk, sementara kami dihadang. Ternyata pagi itu ada sekitar 40an anak yang datang terlambat! Mereka bilang macet pagi itu tidak seperti biasanya, bahkan ada yang jalan di rumahnya diblokir karena posko banjir.
Jam 7.30 pagi, kami di suruh masuk dan di'tatar' di depan ruang guru oleh para staff kesiswaan, guru piket dan Sang Kepala Sekolah. Sang Kepala Sekolah memulai omelannya dengan mukanya yang memang saya rasa tak pernah bersahabat dan tidak ramah dengan para muridnya. "Sudah tidak hujan, sudah tidak banjir, kok kalian masih terlambat?!" ia mengeluarkan pertanyaan retoris, karena jelas ia tidak mau dijawab, "Kamu, mantan ketua OSIS!" katanya menunjuk teman sekelas saya di belakang, "Mantan ketua OSIS nggak bener!" ia lalu menanyakan di mana rumah teman saya itu dan mengomel kembali sedikit. Seorang murid laki-laki di sebelah saya yang berambut sedikit kribo sedang berbisik sedikit pada teman dibelakangnya, lalu ia menjambak kecil rambut si kribo "Jangan ngobrol!" katanya. "Kalian sudah kelas 12, masih aja telat, kamu nggak sayang duit orangtuamu apa, sampai nggak ikut PM pagi begini?!!" padahal Pendalaman Materi saat itu sedang berjalan dan entah mengapa ia tidak memperbolehkan anak kelas 12 masuk kelas untuk mengikuti.
Gurupun tidak pernah mau tahu mengapa anak-anak ini terlambat kalaupun ditanya, anaknya pasti disalahkan. Mematikan motivasi dan hormat anak-anak ini sekali. Secara sains (yang pernah saya dengar waktu saya SMP), itu malah mematikan beberapa sel otak anak, dengan menyalahkan dan membuat anak merasa bersalah.
"Kalian tidak boleh masuk kelas sampai jam 10! Duduk di sini saja, merenung!" ocehnya sekali lagi kemudian melenggangkan tubuh tambunnya ke arah kantor. Anak-anak terdiam. Hanya saya yang berani bersuara mengobrol dengan suara yang dikencangkan supaya guru-guru mendengar.
"Menurut gue sih, hukuman kayak gini tuh bego banget," kata saya mengawali obrolan, "Oke, kita di sini merenung, kita ngaku kok kalau kita salah, lagipula nggak semua anak dateng telat karena dia bangun siang kan, pada macet kan? Kereta juga lagi gak kondusif," lanjut saya,
"Benar kak, kalau bisa kita disuruh ngapain kek, daripada duduk di sini doang," jawab teman saya,
"Ya iyalah, sekarang sirkumstansinya begini, kita duduk di sini sekarang, nggak memberikan keuntungan buat guru-guru, nggak ngasih keuntungan buat kita juga, kerugian juga ada yang rugi, kita malah duduk begini nggak disuruh produktif, mikir deh, malah suruh merenung, belajar kek, baca kek, ataupun kerjain tugas. Mau merenung apa?!" Kemudian salah satu guru piket yang memang guru yang asyik, ternyata sedari tadi sudah memperhatikan pembicaraan kami, "Tuh Pak, bener nggak, daripada kita disuruh duduk begini, mendingan kita duduk sambil ngapain gitu," kata saya, Bapak tersenyum sambil mengangguk, ia kemudian menghampiri Wakasek dan membisikkan sesuatu. Tak lama sang Wakasek memberikan instruksi untuk kami, "Ya anak-anak kalau ingin sekalian membaca buku, atau belajar silakan saja, kerjakan tugas juga silakan,"
"Nah gitu kek dari tadi." bisik saya.
Memang soal anak murid yang telat, di Indonesia karena bangsa kita sepertinya punya krisis kedisiplinan, harus dihukum, tetapi hukuman haruslah masuk akal, memotivasi untuk tidak telat dan tetap memacu produktivitas walaupun telat. Bukannya diomeli dihardik dan dijudge segala macam, bagaimaan anak akan respek pada guru kalau begini caranya? Dan bagaimana pula pendidikan kita bisa mengajarkan pentingnya kedisiplinan dan keadilan tanpa pandang bulu kalau keadilan hukuman keterlambatan antara guru/staff dan murid tidak dipampang secara nyata? Malah anak-anaknya saja yang dimarahi secara lebay, tapi guru-guru tidak diperlihatkan ditegurnya, supaya kita bisa diajarkan dan diperlihatkan tentang baik-buruk. Contoh teman saya yang pernah sekolah di MAN terkemuka, ia terlambat dan dihukum untuk merangkum Bab pelajaran yang ia lewatkan pagi itu karena telat, that's it, produktif. Anak telat bukannya di'kriminalisasi' tetapi diberi hukuman yang masuk akal dan memacu produktivitas. Tak apa barang hanya berlari beberapa putaran, tetapi tidak dengan dijemur atau duduk tanpa jelas juntrungannya.
Memang terlambat datang ke sekolah itu sangat tidak enak, apalagi kalau harus berhadapan dengan Kepala Sekolah yang emang nggak kelihatan punya respek. Saya percaya dengan saya terlambat dan dihadapkan dengan situasi ini, menambah pertanyaan-pertanyaan saya tentang keadaan pendidikan, kualitas kedisiplinan pada bangsa kita dan tentang kualitas tenaga pengajar kita yang harus saya jawab sendiri dan saya harus ikut perbaiki di masa datang.
20.1.13
Mengapa ini menarik buat saya? Karena peristiwa ini paling jelas memakan korban dan ini sebuah kiamat kecil. Bayangkan, video ini saja diberi nama Tsunami Basement. So far sudah ditemukan dua tewas dan dua selamat dalam evakuasi tim SAR. Basement 1 sudah surut sampai 50 cm sampai dengan tulisan ini publish dan ada 20 mobil yang jadi 'korban'. Menurut berita, kerugian dari sebuah perusahaan jasa travel disinyalir sebesar 1,5 milyar dan sebuah dental workshop berkerugian 1 milyar. Mungkin terdengar lebay, tapi hal itu bisa saja terjadi. Tenants gedung ataupun para karyawan masih tidak tahu siapa yang perlu dimintai pertanggungjawaban atas peristiwa yang juga mengurangi produktivitas tenants maupun para karyawan. Ini terang sebuah disaster buat gedung ini, ya secara finansial, kegiatan ekonomi-sosial maupun infrastrukturnya, karena balik lagi, kalau ini sudah terjadi dan memakan korban jiwa mau gak mau pengelola gedung harus berpikir ulang bagaimana agar in the future hal ini tidak terjadi lagi. Mungkin juga, mereka harus memperbaiki alarm disaster, karena jelas, keselamatan para penghuni gedung nomor satu. Nggak mau kan gedungnya jadi haunted? :p JK.
Itu aja sih yang bisa saya ceritakan sekarang. Semoga Banjir Jakarta cepat surut dan berlalu ya. Badai pasti berlalu kok.
The Atjeh Post - News Of Aceh
Let's check this cool thing.
Surat untuk Walikota Lhokseumawe: Batalkan Larangan Duduk Ngangkang!
Sungguh langkah anda sangat tepat. Kalau bisa ditambah lagi peraturan serupa agar masyarakat semakin cepat sadar; telah salah memilih walikota.
Semua ini bermula dari sms dan posting yang beredar di jejaring sosial, yang saya pikir guyonan belaka. Sungguh saya tidak paham akan ada peraturan yang menertibkan cara duduk perempuan di motor: perempuan tidak boleh ngangkang.
Peraturan ini bisa jadi akan diikuti oleh peraturan lainnya, yaitu tidak boleh bawa motor, lalu tidak boleh keluar rumah, tidak boleh bersekolah, tidak boleh bekerja, tidak boleh berbelanja, tidak boleh bersilaturahmi, tidak boleh ke rumah ibadah, tidak boleh ke rumah sakit! Serba tidak boleh ini dijadikan kebijakan karena ingin menertibkan moral, keamanan, melindungi, menghormati perempuan. Memangnya yang bertanggung jawab atas semua persoalan moral sosial itu cuma perempuan? Berarti selama ini pemerintah ada dimana? Oo ya saya ingat, pemerintahnya ngurusin selangkangan.
Saudara Suhaidi, ingatan Anda pasti mulai luntur terhadap kasus perkosaan yang menimpa seorang perempuan di Aceh bagian barat. Perempuan itu berada di pantai saat dilakukannya sweeping pantai oleh serombongan laki-laki sebagai ekses euforia dan salah kaprah atas penerapan Qanun 11, 12 dan 13.
Saudara Suhaidi, saya juga asumsikan Anda tidak tahu kasus yang menimpa sepasang remaja di kawasan pesisir Aceh Besar, yang dipaksa melakukan reka ulang tindakan “amoral” sambil difilmkan oleh masyarakat yang merasa bahwa tindakan mereka diperbolehkan oleh agama dan pemerintah atas alasan menegakkan kebenaran.
Saya pun menganggap Saudara Suhaidi tidak pernah mendengar kasus perempuan Bireuen yang terpaksa pulang ke rumah jalan kaki karena perempuan dilarang dibonceng (berduaan) oleh laki-laki lain yang bukan suami/kerabatnya, padahal suaminya terkapar sakit di rumah.
Bisa dibayangkan kalau peraturan ini digelontorkan, perempuan akan macet mobilitasnya. Otomatis anak-anak dan orang tua juga mengalami hal yang sama. Perempuan berkendaraan rentan mengalami kecelakaan.
Dari Aceh bagian lain kita akan mendapati kebijakan yang melarang pedagang menjual BH dan celana dalam karena dua benda itu disinyalir menyebabkan fantasi. Akibatnya konstalasi sendi kehidupan masyarakat mulai ekonomi, sosial, budaya, kesehatan, politik, agama akan mengalami kemunduran. Peradaban Aceh mundur ke jaman antah berantah.
Apakah nanti kita harus melihat sandiwara dimana seorang laki-laki dibebaskan dari dakwaan tindak pidana pelecehan atau perkosaan karena korbannya duduk ngangkang?
Saudara Suhaidi, banyak masalah yang menimpa perempuan dan Anda menyalahkan perempuan atas semua permasalahan itu. Sepertinya Anda merasa wajib menertibkan perempuan. Saya miris mendengarnya. Miris, karena Anda hanya menyalahkan perempuan.
Seorang kawan laki-laki pernah bilang pada saya, “Ah bisa mati kita kalau begini. Lama-lama nggak asik lagi keliling kota karena tidak bisa lihat perempuan cantik”. Saya marah pada komentar yang melecehkan ini, tetapi saya pun memahaminya. Ini adalah kritik yang dilontarkan kawan saya, karena kekhawatirannya akan upaya struktural tajam yang bertujuan menghapus keberadaan perempuan dalam siklus sosial, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya.
Sungguh di Aceh semakin lucu kebijakannya. Dan lebih lucu, belum terdengar upaya Gubernur menertibkan bola liar yang menggelinding menyeruduk ke sana sini.
Saya pikir Saudara Suhaidi tidak pernah meluangkan waktunya untuk mendalami persoalan mendasar permasalahan-permasalahan riil rakyatnya. Atau, bertatap muka langsung dengan rakyat untuk berdiskusi apakah mereka lebih memilih peraturan seputaran letak kaki perempuan atau letak rumah sekolah, letak rumah sakit,letak jalan aspal, letak irigasi, letak terminal, dan letak pasar.
Saya sarankan agar Saudara Suhaidi mau berpikiran lebih terbuka. Cobalah belajar kepada walikota lain yang lebih berpengalaman dan berhasil, Jokowi dan Ahok misalnya.
Setidaknya tahun kedua kepemimpinan anda akan menjadi tahun spektakuler dan penuh pujian. Periode dimana angka kesehatan semua masyarakat meningkat, pendapatan perkapita penduduk Lhokseumawe di atas rata-rata provinsi Aceh, tingkat pendidikan melonjak tajam.
Tidak ada kata terlambat untuk sebuah perubahan positif. Dan, itu bisa Anda mulai, dengan membatalkan aturan tentang perempuan tidak boleh duduk ngangkang!