12.1.14





Norak. Itu kata yang banyak orang lontarkan jika melihat orang kampung plesir ke kota besar, tapi bagaimana jika keadaannya dibalik? Saya, bisa dibilang, juga menjadi norak ketika melihat hamparan sawah begitu luas saat saya dalam perjalanan berkunjung ke Rangkasbitung, Banten. Kesan penat perkotaan sama sekali hilang dari pikiran saya, ketika menikmati pemandangan indah yang memberi kesan segar dari jendela kereta Rangkas Jaya yang dingin karena AC. Saya tidak ragu mengambil gambar sawah yang sangat luas itu dengan kamera telepon genggam, walau banyak orang duduk di sekitar. Ini akan jadi tiga hari yang menyenangkan untuk lebih mengenal greater Banten, berkunjung ke tempat yang jarang orang Jakarta kunjungi untuk berlibur, hanya dengan Rp. 15000 dan berangkat dari stasiun Tanah Abang jam 8 pagi. 


Pemandangan sawah di kanan kiri cukup saya nikmati sekitar 1,5 jam sampai saya tiba di stasiun Rangkasbitung, stasiun kecil yang awalnya tidak terlihat istimewa, namun jika melihat bangunan tak jauh dari stasiun, kita akan tahu bahwa stasiun ini adalah bagian dari sejarah pendudukan Belanda di Indonesia. Saya dijemput oleh ayah sahabat saya, Ajeng, untuk pergi ke rumahnya, tempat saya akan menginap selama dua malam di Rangkasbitung. Saya disambut oleh banyak angkot dan becak yang ada di sekitar terminal dan pasar Rangkasbitung. Kendaraan bermotor yang berlalu lalang di sini tidak banyak, itu artinya polusi udara dan polusi suara sangat minim, udara yang saya hirup agak berbeda dari Jakarta, lebih ringan. Kesan pertama saya setelah beberapa menit melihat kota Rangkasbitung adalah, menenangkan dan menyegarkan.



Alun-alun Rangkasbitung dan Masjid Agung Rangkasbitung
Ajeng sangat fasih dengan kota kecamatan berpenduk sekitar 118.000 orang ini dari Ajeng lah saya mendapatkan banyak sekali cerita tentang kota ini. Darinya, saya jadi tahu kalau Rangkasbitung berasal kata dari kata rangkas dan bitung yang berarti bambu, dahulu sebelum Belanda datang, daerah Rangkasbitung adalah hutan bambu. Ajeng mengajak saya melihat sawah terhampar cantik dengan background Gunung Karang di dekat rumahnya, lalu menunjukkan jalan ke perkebunan kelapa sawit milik negara yang agak jarang dikunjungi orang, dan tak lupa mengajak saya berkeliling downtown Rangkasbitung. Ya, seperti banyak kota-kota di Indonesia, Rangkasbitung juga punya downtown yang cukup ramai dikunjungi, tapi jangan bayangkan kermaian ukuran Jakarta. Ramai di sini sangat sederhana, asal ada anak sekolah pacaran di alun-alun, pujasera ramai dengan PNS, atau kafe-kafe kecil tempat nongkrong remaja yang buka, tidak perlu banyak mobil atau motor. Saya juga tidak menyangka bahwa di kota kecamatan ini ada supermarket skala besar dan sebuah mall, “Iya, tapi ini mall-mallan, mall nggak jadi,” kata Ajeng. Benar sih, baru kali ini saya ke mall yang cuma punya satu lantai. Ada tempat-tempat penting untuk sightseeing di ibukota kabupaten Lebak ini, seperti Taman Makam Pahlawan Sirna Rana, Vihara Ananda Avalokitesvara yang ngejreng, Gereja Jemaat yang bangunan Belanda juga, serta Masjid Agung Rangkasbitung, ini menggambarkan cukup tingginya keberagaman dan toleransi beragama di sini, saya sempat berpikir bahwa penduduk Rangkasbitung cenderung homogen dalam urusan agama dan agak mendiskreditkan minoritas, nyatanya tidak. Di sebelah alun-alun, terdapat Kantor Bupati Lebak yang dulu merupakan kediaman dari penulis jaman Belanda, Multatuli, sayangnya, kami tidak berani masuk ke kantor kabupaten untuk ‘mempelajari’ sejarah hidup penulis “Max Havelaar” itu lebih dalam.


Gereja Belanda

Jalan Multatuli
Rangkasbitung merupakan settlement Belanda yang besar di zamannya, karena dulu di sini ada tambang minyak. Terbukti, saya melihat banyak sekali rumah-rumah Belanda di sekitar downtown Rangkasbitung, mudah sekali menemukannya tak jauh dari Kantor Bupati Lebak dan setu (danau kecil) di tengah kota. Kebanyakan rumah Belanda itu sekarang telah menjadi rumah penduduk sekitar, ada yang dibiarkan seperti aslinya, ada yang dipugar, ada juga yang menjadi aula dan kantor pemerintah. Selain rumah Belanda dan bangunan stasiun, ada Jalan Multatuli yang merupakan jalan protokol menjadi bukti bahwa orang-orang sadar akan kejayaan tempat ini pada masa pendudukan Belanda. Rangkasbitung adalah tempat yang kaya sejarah bagi saya, sayang tidak ada tempat bersejarah yang ‘ramah turis’ di sini. Ah, andai saja ada Museum Multatuli atau museum lain di Rangkasbitung…


Rangkasbitung lebih ramai ketika sore dan malam hari, khususnya di bagian downtown. Di alun-alun, para pemuda asyik bermain basket dan voli, ada pula sepeda tandem dan delman untuk berkeliling, penjual makanan pun mulai banyak. Makanan yang paling saya rekomendasikan untuk dicoba adalah Pais Gurih, bentuknya seperti lontong, namun agak lebih besar dan dibakar, bumbunya kemerahan dan ada potongan kecil jeroan ayam di dalam nasinya. Saya juga merekomendasikan Sate Bandeng khas Banten yang rasanya manis gurih, cocok untuk dimakan bersama nasi. Ada juga Sop Durian yang juga enak, kalau minuman ini Ajeng sangat rekomendasikan. Makanan khas Banten cukup murah, kisaran harganya Rp. 5000 sampai Rp. 15000



Vihara Rangkasbitung
Di antara keramahan dan kesederhanaan Rangkasbitung, masih ada hal-hal yang mengganjal di hati saya. Rasa kehidupan Jakarta di sini memang hampir tidak terasa karena hampir semua orang berbicara bahasa Sunda dialek Banten dan orang-orangnya lebih santun, tetapi ternyata banyak sekali minimarket dan tempat nongkrong anak muda yang berkembang di sini, seperti kafe-kafe blended coffee dan distro yang menggambarkan bahwa anak muda kota ini terlihat mulai konsumtif. Selain itu, ada saja bangunan pemerintah yang terbengkalai, seperti pembangunan SMAN 1 Rangkasbitung yang masih setengah jadi dan somehow tidak terlihat akan dilanjutkan dalam waktu dekat “Yah dari dulu segini-segini aja sih pembangunan sekolah gue,” kata Ajeng, “Di sini banyak bangunan yang abandoned.” Padahal anggaran pembangunan SMA itu sekitar 2 milyar lebih (saya tahu dari plang pembangunannya), sementara di sisi lain kota, billboard Ratu Atut untuk sadar membayar pajak berdiri manis.


Serang menjadi tujuan saya mengeksplorasi Banten di hari berikutnya. Perjalanan saya dan Ajeng ini merupakan sudden journey (terinspirasi dari National Geographic Traveler J), kami tidak punya rencana untuk pergi ke sana. Cukup membayar Rp. 15.000 per orang, kami dapat menikmati kereta ekonomi AC Kalimaya Express tujuan akhir Merak. Perjalanan sekitar satu jam lagi-lagi menyuguhkan pemandangan sawah dan Gunung Karang, bahkan ada perhentian kereta yang ada tepat di tengah sawah! Di beberapa titik, saya dapat melihat seperti pemukiman besar di kaki Gunung Karang, saya pikir mungkin saya melihat bagian dari kota Pandeglang. Stasiun Serang ternyata lebih kecil dari stasiun Rangkasbitung, cukup membingungkan, karena Serang merupakan ibukota Provinsi Banten, saya pikir seharusnya ibukota provinsi memiliki stasiun yang lebih besar dan tidak seterbengkalai ini, tapi kemudian kami tahu ternyata stasiun itu adalah bangunan cagar budaya, pantas saja terlihat dibiarkan saja seperti aslinya.


Stasiun Serang
Masjid Agung Serang

Kantor Gubernur Banten
Alun-alun Serang
Billboard Atut
billboard atut lagi

lagi-lagi billboard atut...

Ajeng memberi tahu saya pendapatnya tentang kota Serang, “Serang itu kota yang nanggung, besar enggak, kecil juga enggak,” katanya, “Makanya gue pribadi kurang suka, daripada ke Serang, gue lebih suka main ke Jakarta sekalian.” Saya juga sempat membaca di ulasan tentang kota ini dari internet, ada yang bilang bahwa Serang bukan tempat untuk mencari keunikan. Semua hal itu telah saya buktikan, atau mungkin sebenarnya kami datang di waktu yang kurang tepat. Dari hasil tanya-tanya saya ke polisi dan orang-orang di sekitar, jika ingin mencari makanan khas Serang harus menunggu hingga sore atau malam hari. Kami bisa juga berkunjung ke situs Banten Lama, di mana kita bisa lebih banyak eksplor tentang sejarah Kerajaan Banten dan peninggalan purbakala, tetapi untuk berkunjung ke sana memakan waktu cukup lama, padahal waktu kami di Serang hanya 3 jam karena harus naik kereta terakhir ke Rangkasbitung. Alhasil, kami hanya jalan-jalan seadanya di Serang.


Tempat pertama yang kami kunjungi di Serang adalah Alun-Alun dan Kantor Gubernur Banten di pusat kota, mirip dengan Bunderan HI-nya Jakarta. Ada dua alun-alun di sini, barat dan timur, saat kami bertandang sedang ada pameran lukisan di alun-alun barat. Kantor Gubernur Banten terlihat sangat rindang, dihiasi gapura artistik bak kerajaan di depan kantornya, tepat di seberang kantor Gubernur ada kantor walikota Serang. Banyak sekali billboard di sepanjang jalan utama Kota Serang, isinya muka Ratu Atut semua, mulai dari sosialisasi KB, Hari AIDS sedunia, sampai program Jamsosratu yang billboardnya paling besar (dan penerapannya hoax). Saya belum pernah lihat ada gubernur senarsis ini.
Setelah puas melihat-lihat, kami sempat bingung berkunjung ke mana, karena kami tidak ingin masuk Mal Serang penuh dengan makanan cepat saji yang sebenarnya bisa dengan mudah saya temui di Depok, kami kemudian pergi ke Pasar Lama untuk makan siang, lagi-lagi kami tidak menemukan makanan khas sini, kami kemudian makan siang di rumah makan Padang dan saya menyempatkan diri untuk mencari oleh-oleh. Saya sempat melihat ada bongkahan bebentuk lonjong yang diikat dengan sejenis daun kering, “Itu gula aren, biasanya orang Baduy yang bikin, gue jamin, gula aren yang begitu otentik, cuma ada di Banten,” terang Ajeng, saya pun mendapatkan oleh-oleh pertama saya untuk Ibu di rumah. Kami beristirahat di Masjid Agung Serang, begitu masuk, kami disuguhi arsitektur khas Banten dan ukiran ornamen atapnya sangat detil, tempatnya juga sejuk sekali dan rindang. Sebelum pulang, saya mengunjungi sebuah kios yang menjual makanan khas Serang, Nasi Bakar Sumsum, kali ini kami datang di waktu yang tepat, saya mengantongi dua bungkus Nasi Bakar untuk disantap di kereta ekonomi.


Bukan hanya pengalaman jalan-jalan yang saya dapatkan dari berkunjung ke dua kota di Greater Banten ini, tapi saya melihat sendiri betapa pembangunan di provinsi muda ini tidak merata dan banyak sekali hal-hal yang luput dari perhatian pemerintahnya. Saya melihat dan membandingkan Kota Serang dan Rangkasbitung yang keduanya menurut saya stakeholder utama Banten, keduanya merupakan pusat pemerintahan dan yang saya lihat hanya pusat pemerintahannya yang ‘didandani’, tapi sebagian besar kabupatennya cuma punya jalan setapak yang susah dilewati kendaraan, jembatan ambruk, dan susahnya akses karena transportasi yang kurang memadai. 


Saya juga mendapatkan cerita-cerita keadaan sosial politik Banten dari Ajeng. “Ada wacana katanya Lebak Selatan mau memerdekakan diri jadi kabupaten baru, biar pembangunannya lebih merata dan lebih berkembang,” cerita Ajeng, memberikan cerita yang cukup mengejutkan bagi saya. “Bagus dong, gue sih dukung banget, biar sejahtera nggak ditinggalin terus, kasihan kan,” ucap saya, tapi Ajeng malah memberikan pandangan lain, “Masalahnya, pendapatan daerah Kabupaten Lebak saat ini sebagian besar datangnya dari hasil bumi Lebak bagian selatan, kalau mereka memisahkan diri kita bakal dapat pendapatan dari mana lagi?” Ternyata isu pemisahan ini cukup kontroversial, menarik, hal ini harusnya bisa menyadarkan pemerintah Banten maupun pusat tentang ketimpangan pembangunan yang memang terjadi. Tentang dinasti yang terjadi Banten saya pun mendapatkan cerita menarik lain, “Atut itu ingin menguasai seluruh Banten, makanya dia bikin dinasti kayak gitu, tapi cuma satu yang susah dikuasai Atut yaitu Kabupaten Lebak, di sini ada dinasti sendiri,” kata Ajeng, “Bupati yang kemarin menjabat itu Bapaknya, sekarang yang menjabat itu anaknya Bupati sebelumnya.” Saya sempat melihat billboard di Alun-Alun Rangkasbitung, ada tulisan “Terima Kasih Telah Mengabdi… 2003-2013” artinya 10 tahun menjabat, entah karena memang dipercaya rakyat atau hal lain. “Politik di Banten itu masih primitif,” ujar Ajeng, kalimat itu nendang sekali untuk mengomentari keadaan politik Banten sekarang.


Tiga hari mengeksplorasi Rangkasbitung, serta kunjungan singkat ke Serang, lebih dari cukup. Daerah-daerah yang saya kunjungi di Banten sebenarnya kaya akan sejarah, pernah jaya pada masanya, pula potensi wisata yang tidak kalah menarik dari pantai-pantai di Banten. Namun, penduduk di kedua daerah itu kini menjadi korban politik dinasti yang menyebabkan buruknya penanganan pemerintah dalam hal pembangunan karena sibuk mengurusi kekuasaan. Entah kapan kita bisa melihat kejayaan dan kesejahteraan itu lagi di tanah Banten.




Travel Tips Banten:
-          Untuk menikmati makanan khas dan suasana yang lebih lively, datang lah ke pusat kota di atas mulai jam 4 sore sampai jam 8 malam.
-          Kereta diesel adalah moda transportasi yang sangat disarankan bagi teman-teman yang ingin mengeksplorasi Banten dan menikmati perjalanan yang membebaskan diri dari penatnya Jakarta. Dengan Rp. 4000 sudah bisa naik kereta ekonomi diesel tujuan Merak berangkat dari Angke, untuk kereta express AC berangkat dari Tanah Abang ada kereta Rangkas Jaya tujuan Rangkasbitung harganya Rp. 15000, dan untuk tujuan Serang-Merak ada kereta Kalimaya harganya Rp. 30000.
-          Kota-kota yang dilalui kereta seperti Rangkasbitung, Serang, Cilegon, sampai Merak merupakan tempat wisata yang terjangkau dan berbeda dari biasanya, beranilah untuk bereksplorasi sendiri dengan bertanya dengan orang sekitar, preferably coba ngobrol dengan polisi atau marbot masjid.
-          Jika teman-teman ingin berkunjung ke tempat-tempat di Lebak Selatan, seperti Pantai Sawarna dan perkampungan Baduy, butuh waktu dan biaya yang lebih besar karena transportasi agak sulit serta membayar guide. Lebih baik datang pada bulan Mei-Agustus menghindari cuaca buruk.
 

Copyright 2010 Singa Betina yang Terjebak.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.