30.9.12


Lirik:


Iki Jowo Style!
Ireumi.. moaseyo annyeong haseyo gomawoeyo
eotteoseyo masitge deuseyo bulan haeyo
mian heyo, usu osseo Iki opo too?? Apayo?!!

Yen meh sinau bahasa Korea ora popo
tapi yen mung nggo nggaya malah dadi nyusahno
Mungkin demam artis Korea remaja tekan dewasa
pengin nonton konser mereka
 
Aku wong Jowo
senajan raiso
koyo ngono (hey.. !)
nggaya ngono (hey.. !)
nanging ayo podho
njogo budoyo
ben ra gelo (hey!)
ben ra leno (terlena) (hey!)
Sopan.. ramah tamah.. lembut.. ora semrawutt.. wutt.. wuttt.. wuuutttt..
Iki Jowo Style !!
Heeeei... aku wong Jowo
Iki Jowo Style !!

Dimulai soko lagu, filem hingga sinetron
rambut klambi Korea mungkin digandrungi cah nom
tapi santun berpakaian jangan dilupakan
ojo ngasi kebablasan..... ....

Heladalah! yen nggo biasaan iso dadi masalah
iso dadi lemah akidah lali ngibadah
wis ayo cah kono kabeh podho ngaji sik
 iku lewih becik

ndewe wong Jowo nduwe budhoyo..
toto kromo.. (hey!)
taat agomo.. (hey!)
Ayo podho-podho njogo budhoyo
ben ra gelo (hey!)
ben ra leno (hey!)
Sopan, ramah tamah, lembut ora semrawutt.. wutt... wutt... wuttttt!
Iki Jowo Style! Jowo Style
Heeiiiiy.. aku wong Jowoo..
Asli Sragen kono ....
Iki Jowo Style!


note:
(GILAAAAAA AKU WONG JOWO BRAY BANGGA BRAY)

29.9.12

Jadi saya ini punya cerita besar yang harusnya saya share sebelum pulang, hanya saja, kepulangan membuat saya malas ngapa-ngapain kecuali packing, saying farewell sama sahabat dan keluarga saya di Amerika dan juga reunian lagi sama teman-teman YES Indonesia 2011-2012. Jadi mari, later is better than never kalo kata Lana Del Rey.

Jadi sebenernya tujuan utama saya adalah menghadiri pernikahan tante saya yang ngerawat saya dari kecil di Indonesia, saya panggil dia, Anti. Tanggal 27 Mei sampai 14 Juni, saya menghabiskan waktu saya di Harissburg, Pennsylvania (tempat tante saya tinggal) yang jug amerupakan ibukota dari negara bagian Pennsylvania.

Setelah itu, saya menghabiskan 3 hari 2 malam di New York City~ Di NYC, saya ditemani Tante Wahyu dan Kak Dinda, mereka kerabat keluarga, lalu juga ditemani teman Indonesian-American saya, Dara, teman lama dari SMP yang selama ini cuma keep contact dari email dan social network dia sekarang kuliah di Stony Brook University majoring in Medical, sama Syira, anak Jakarta cuma dia pindah baru setahun ke Harrisburg buat SMAnya berhubung dia technically a U.S Citizen.

Lalu berwisata bersama Anti ke Philadelphia di hari terakhir sebelum kepulangan saya kembali ke Iowa.

Berikut 'galeri foto' New York City-nya, saya persembahkan~~


Keluar dari Subway, norak

Broadway, my dream

Sama Mas Johnny :')

Bawa aku Mbak Poppins~

U-S-A RED WHITE AND BLUE!

Times Square siang hari

:') *speechless*

Will I featured in the poster? Future speaks

The Apple 'sanctuary' and Rockefeller Center, cool sunglasses huh?

PLEASE BRING ME BACK TO STRANDS BOOKSTORE!! GIMME SOME MONEY TO BUY THIS!


Brooklyn Bridge yeah

This beautiful view from Brooklyn Bridge

Good Indonesian friends, Dara (left) and Syira (right). They accompany me along the weeks in Pennsylvania and New York. World Trade Center in the background

Broadway at night

Finally I found where that Broadway musical plays, and I really want to watch it: "Once". I got the Playbill though :')

Another Broadway place: Evita. Ricky Martin play as Peron and the music is by Andrew Lloyd Weber :'D

Rela hujan-hujanan sama Syira dan Dara demi foto di Times Square malam hari~

I got to the Statue of Liberty


23.9.12



Judul Buku       : Malam Terakhir
Pengarang       : Leila S. Chudori
Tahun Terbit   : 1989 (edisi revisi, 2009)
Penerbit          : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Halaman         : xviii + 117 halaman

            Malam Terakhir merupakan buku kumpulan cerpen yang diterbitkan pada tahun 1989 dan diterbitkan kembali pada 20 tahun kemudian dalam edisi revisi. Terdiri dari 9 cerita pendek karya Leila S. Chudori dari tahun 1986-1989.
            Leila S. Chudori merupakan seorang wartawan senior majalah Tempo yang mempunyai latar belakang pendidikan tinggi di luar negeri, khususnya Kanada.
            Hampir semua cerita dalam buku ini berlatar di kota yang ada di negara lain, seperti Paris, Brussels, dan ada juga yang berlatar kota di Kanada.

            Leila juga sukses membawa referensi teoritis dari berbagai filsuf dan sastrawan dalam cerpen-cerpennya, seperti di cerpen “Keats” dan “Adila”. Kedua cerpen tersebut juga menggambarkan konflik batin yang besar dari sang tokoh utama dalam menghadapi masalah hidupnya. Dari konflik-konflik batin tersebut, hadir sastrawan dan filsuf asing yang menemani pemikiran dan pengambilan keputusan tokoh utama.

            Pada cerpen “Keats”, Tami yang akan pulang ke Jakarta untuk menikah dengan kekasihnya, dan juga pasrah mengikuti kemauan serta tuntutan keluarganya, terus dihantui oleh bayangan penyair Inggris, John Keats dan puisinya yang berjudul “Tentang Mati” dengan kutipan berikut:
            Mungkinkah mati itu tidur, bila hidup hanyalah mimpi
            Dan gambaran bahagia
Luput seperti hantu berlalu
Serta pada bait kedua:
            Menatap bencana nanti, yang hakikatnya bangun belaka
Petikan puisi tersebut adalah yang paling relevan dan mengena dalam keseluruhan cerita. Tami terus mempertanyakan keputusannya untuk menikahi kekasih hatinya di Jakarta atau kekasih jasmaninya di Brussels.

            Sementara pada cerpen “Adila”, bercerita tentang anak perempuan yang sedang mengeksplorasi seksualitasnya, dibantu dengan imajinya akan A.S. Neill, seorang penulis Amerika, Ursula Brangwen, tokoh utama novel The Rainbow karya D.H. Lawrence, dan juga Stephen Dedalus, tokoh utama novel A Portrait of the Artist as a Young Man karya James Joyce. Ketiga tokoh yang hidup dalam imajinasi Adila itu mengajarkan tentang kebebasan dan kedewasaan pada Adila, saat ia terkekang oleh keotoriteran ibunya yang menjadi-jadi. Namun, Adila merasa didukung oleh ayahnya yang secara tidak langsung memperkenalkan tokoh-tokoh itu pada Adila.

            Kedua cerpen ini terlihat diolah sangat dalam dan dengan pemikiran matang, sehingga terpancar kedewasaan untuk para pembacanya. Kedua cerpen ini pun menuntut pembacanya untuk mengkaji ulang pemikiran yang ada dan membandingkannya dengan makna cerita pendek, agar bisa menghasilkan suatu pemahaman baru serta pengetahuan baru tentang satra ataupun filsafat.
            Buku ini secara umum sangat memuaskan. Tidak hanya cerita-cerita dan temanya yang menarik, tetapi pemikiran ynag biasanya terdapat di buku filsafat atau buku sastra lain dapat ‘dikawinkan’ dan diaplikasikan dalam cerita pendek. Cerita dalam buku ini juga mengajak pembacanya untuk ikut berpikir bersama dan bisa terinspirasi untuk menelurkan sudut pandang baru tentang kehidupan.
            Buku ini sepertinya tidak ditujukan untuk para pembaca pemula, karena konten yang terkandung dalam cerita-cerita pendek buku ini. Butuh pengetahuan tambahan, kesiapan dan pikiran yang terbuka dari pembaca sendiri agar dapat lebih mengerti tentang esensi cerpen.


(Catatan: yang plagiat tulisan ini, gua sumpahin mandul, yang membaca tulisan ini tapi niatannya baik gue sumpahin masuk surga o:-))

15.9.12

So, I randomly open www.behindthename.com and it was amazing, cause I found beautiful names from different ethnicity and these feminine names I like the most:

 

Aðalbjörg Hjördís
Icelandic: The noble protection from the sword goddess


Moema Nina
mix of Tupi and Quechua: Sweet fire


Bergljót 
Norwegian: Protection by light


Whetu Roimata 
Maori: Star in a teardrop


Radka
Czech: care


Siriporn Kanda
Thai: Lovely glorious blessing


Dagny
Danish: New day


Kanchana Veda
Indian: Golden knowledge


Sorne Hilargi
Basque: The moon conception


Sevgi Aygül
Turkish: Lovely moonrose


Subira Asha
Swahili: Patience in life


Gulshan Shabnam
Persian: Dew in the rose garden


Arevik Anehit
Armenian: Like the immaculate sun



Well, at least I got some inspiration for my (very) future child's name and/or for character in my story, the more uncommon the more unique :)
 
Jadi kejadiannya gini bray, gua kan sekarang sekolah dan sekelasnya sama anak-anak yang dulu jadi adek kelas gue, yang gue gak tau orang-orangnya seperti apa, psikologi dan latar belakang pemikiran mereka serta interest mereka tuh apa-apa aja gue belom ngerti banget lah.

Yang mau gue bicarain di sini bukan derita gue 'gak naik kelas' tapi pandangan gue setelah gue kembali lagi ke sekolah lama dengan pemikiran gue yang baru. Banyak banget perbedaan yang gue lihat dengan kembali bergaul dengan mantan adek-adek kelas gue ini, bergaul dengan mereka nggak kayak waktu gue bergaul dengan angkatan lama gue, atau mungkin setidaknya itu yang gue rasakan. Gue bukannya mau ngejudge yang mana yang lebih seru atau yang mana yang lebih ini-itu, tapi ternyata emang society yang gue lihat selama ini bukan seperti yang gue harapkan saat gue berada di benua sana.


Pas gue pulang, gue punya banyak ekspektasi tentang teman-teman baru gue ini, dan juga ekspektasi tentang teman-teman yang dulu seangkatan di sekolah. Gue berharap mereka adalah anak-anak yang bersemangat dalam mencapai cita-cita mereka, mereka adalah anak-anak yang dibesarkan dan bergaul dalam lingkungan ibukota Jakarta yang tau negaranya dengan baik, mereka anak-anak yang berani berpendapat dan bisa memakai kepala dan dada secara sinkron. Nyatanya?

Well, I don't want to judge who or what.

Tapi gue kadang merasa kecewa berada dalam lingkungan sekolah yang begini.
Atau mungkin, gue yang nggak normal.



And this is what I face in the past 2,5 months at school:

  • Dari 10 orang yang gue tanya: "Elo ntar mau kuliah apa?" yang bisa jawab dengan jelas cuma 3 orang. Please, ini urusan 8 bulan ke depan. Bukan urusan 3 tahun lagi 

  • Dari 5 kelompok yang memberikan presentasi di pelajaran-pelajaran IPS, semuanya membaca presentasi tersebut dan masih nggak ngerti esensi presentasi power point itu apa. Please, Power Point, bukan Power Paragraph. Mereka cuma copy paste dari web, tanpa mengolah kata lagi, mengambil hal yang penting, bahakan kadang nggak ngerti sama sekali apa yang mereka presentasiin, yang penting ada nilai.

  • Meresensi buku juga, copy paste dari web dan nggak dibaca bukunya, atau memilih buku dengan asal. Meresensi buku ilmiah atau nonfiksi atau biografi, tapi buku yang diambil, dia sendiri nggak tertarik dan nggak pernah mendengar soal apa yang dibahas buku itu, padahal gue udah bilang sama mereka, ambil buku yang kira-kira lo tau, pernah denger atau kontennya menarik buat elo, nggak didengerin juga. Mana ada meresensi buku cuma baca halaman/bab pertama doang?

  • Merangkum dari buku cetak. Oke ini merangkum. Tapi kenapa satu bab ditulis semua? Kenapa nggak bikin kata-kata sendiri, dimengerti gitu apa yang dirangkum. Stabilo-in poin penting di suatu bab. Poin pentingnya aja loh. Tapi kenapa yang distabiloin semua paragraf?

  • Mirisnya lagi, suatu hari di pelajaran Bahasa Inggris, dari yang kita diskusi tentang pertanyaan sehari-hari, sesimple "Where were you born?" dan cuma 1-2 yang bisa jawab, ujungnya kita belajarnya balik lagi kayak anak SD sampe belajar nyebutin nama-nama hari, nyebutin jam. Gue bilang: "Gue ngerasa bego," dan gue kelas 12.

  • Gue ngejelasin contoh di pelajaran Sosiologi "Apabila suatu negara merubah dasar negara," lalu yang gue jelasin malah nanya, "Emang dasar negara kita apaan sih?" Gue langsung yang, "HAH? elu orang Indonesia bukan sih?!" terus dia nebak "UUD 1945 ya?" "Ya bukan lah!" "Eh.. iya Pancasila deng," gue agak wondering, gak lama lagi dia mungkin gak hapal Pancasila

  • Gue mengemukakan pendapat, di kubu cowok-cowok gue denger komentar: Apaan sih?! Penting banget! Sok banget! WOOOO! atau Hiyaaaaahh! atau Udah apa udah!! Wujud bahwa mereka sendiri nggak bisa mikirin hal-hal yang kritis atau yang penting bahkan untuk kelangsungan pendidikan mereka sendiri  

  • Nyontek. Masih jaman? Plagiat. Mereka ngerti nggak sih arti plagiat dan itu adalah sebuah kejahatan intelektual?


SAYA MALU

MALU

Apa memang anak-anak remaja sekarang itu adalah anak-anak yang malas mikir?
Apa mereka nggak sadar bahwa tinggal hitungan 1 dasawarsa, yang bakal jadi suksesor negara ini tuh dia?
Kenapa cuma percintaan, musik-musik yang mereka suka, penampilan, pergaulan yang up to date, Blackberry, smartphone, gadgets, nongkrong, main game, dan hal-hal yang harusnya bisa dikurangi dulu yang malah mereka utamakan?
Gue nggak ngerti lagi.


Bukannya gue gila belajar.
Bergaul itu penting.
Asalkan ujungnya nggak menjadi bagian masyarakat yang materialistis.
Menjadi kelompok manusia yang hidupnya kurang berkualitas
Kelompok orang yang nanti pas udah gede nyeselin masa remajanya
Gue cuma mau kita lebih sadar umur.
Lebih menggunakan hati dan pikiran, setting priorities, lebih mengenal diri kita dan mengembangkan hal-hal yang penting dan positif.
Pikir dan rasakan.
Jangan masih bertindak karena merasa kalau "Gue masih muda, urusan yang laen ntar aja lah, itu urusan orang gede," tapi mereka sendiri lupa kalau mereka kalau udah punya KTP udah considered as 'orang gede'
Atau cuma ikut-ikutan temen.
Please, kita hidup bukan untuk dan karena temen, lo hidup untuk diri lo sendiri. Teman itu supporting agents.


Terakhir:
Apakah masih jaman nyalahin globalisasi dalam soal 'malas-malasan' ini?


Tuhanku....
Maafin saya yang nggak bisa berbuat apa-apa melihat hal ini.
Saya cuma bisa menulis posting blog ini dan tetap melakukan sesuatu yang saya anggap benar saya lakukan. Saya nggak ingin selamanya stuck hidup di dunia remaja.
Saya pengen berkembang
Saya pengen jadi dewasa muda yang suka berpikir, kritis dan peka terhadap lingkungan.
Semoga bukan cuma orang-orang tertentu saja yang bisa berkembang ke arah positivity tapi nular juga ke remaja lainnya.
Amin.

btw, this is just my thoughts CMIIW :)

10.9.12

Well, gue lagi kena virus semangat nulis, semoga virus ingin menulis selalu ada di diri saya setiap minggu yeyeye lalala

Ngomong-ngomong soal virus, gue emang lagi kena virus, virusnya positif tapi yaitu virus taman baca ditambah volunteering. Ceritanya habis gua pulang, gue ketemu lagi sama temen-temen lama lah, terus di sebuah acara gue sempet ketemu sama Tofan, dia ini waktu itu masih temen yang baru suka ngobrol di internet doang, kenalnya ya dari temen-temen yang anak SMA 8 sih. Nah, sebelom gue pulang, dia emang sempet ngetweet tentang dia mau bikin taman baca, wuah, gue bacanya langsung semangat bray, habisan gue punya mimpi yang sama dari kecil yaitu bikin perpustakaan, nah sewaktu ketemu itu lah kita diskusi tentang banyak hal, termasuk pembangunan taman baca ini.

Yah, due to smaller circle of friends that I got, ternyata founder taman baca yang diberinama Bulian ini gak cuma Tofan tapi juga ada Dinda 'DL' yang memang teman gue sewaktu di FPPEA, dan satu lagi founder adalah Gesya yang ini gue baru kenal di Bulian deng hehe. Tapi ketiga orang ini memang orang-orang cerdas nan kreatif serta kritis lho.

Taman Baca Bulian ini sendiri, berdirinya di rumah Tofan di daerah Tanjung Barat.

By the way, Bulian itu apa sih? Nah Bulian ini ternyata adalah nama pohon langka Indonesia, yang nama lainnya Ulin, pohon ini katanya kuat banget dan berdirinya kokoh. Yang gue tangkap esensinya dari nama untuk Taman Baca ini adalah, harapan para founders dan volunteers agar di masa depan kita bisa bersama menjadi dan tumbuh sebagai generasi yang memperkokoh eksitensi dan nama baik bangsa kita. (Gue agak sotoy nih yang ini, padahal yang gue tau nama taman baca emang maunya nama tanaman langka biar orang-orang lebih mengenal tanaman Indonesia saja)

Pengembangan minat baca juga diharapkan bisa jadi isu utama dalam pembangunan taman baca ini (sailaaahhh). Biar ke depannya, walaupun TV ada, internet ada, tetap kita dan generasi muda yang selanjutnya nggak dibodohi sama hal-hal yang nggak relevan untuk perkembangan masa depan bangsa, terus budaya membaca nggak punah ya, karena membaca itu bisa ngembangin pola pikir dan imajinasi bos~

Taman Baca Bulian ke depannya akan membuat banyak aktivitas buat adik-adik pemustaka. Mengembangkan minat, bakat dan pengetahuan adik-adik pemustaka lewat les seperti menggambar, bahasa Inggris, dll. Sejauh ini, yang udah pernah dijalanin di taman baca sih cuma aktivitas kecil-kecilan kayak mendongeng, nonton film bareng, belajar origami, menggambar bersama dll.

Founders dan volunteers berharap agar ke depannya, akan ada 'cabang-cabang dari Pohon Perpustakaan Bulian' ini di tempat-tempat lain dan punya jaringan yang lebih luas

Gue pribadi senang banget bisa gabung di tim sukarelawan taman baca ini. Basically, Taman Baca Bulian ini adalah sebuah youth-led non-affiliated organization (organisasi berbasis kepemudaan yang tidak terikat dengan organisasi lain), artinya inisiatif anak muda, dari anak muda, untuk anak muda. Dengan rasa kepemudaan dan independensi yang ada, gue jadi ada semangat untuk belajar untuk lebih konsisten dan berani berkomitmen. Melihat semangat teman-teman volunteers dan keikhlasan mereka, mata gue jadi terbuka dan buat gue mikir, wah masih banyak ya temen-temen yang concern terhadap hal-hal beginian, tentang membaca, yang kadang orang suka sepelein, padahal impactnya besar.

Menurut gue, inisiatif dan implementasi teman saya yang hebat ini membanggakan sekali. Biar kata orang bilang gua aktif kesana kemari membawa alamat, gue masih suka malu karena gue masih belom berani memulai hal besar semandiri ini, ckck sungguh....


Nah, boleh lah cek Taman Baca Bulian kita ini di:

tamanbacabulian.org

 

http://twitter.com/TamanBacaBulian


Boleh dicek dulu lah lapak kita ini, kepuasan dijamin bray.
Oh iya, kita dengan senang hati dan welcome menerima donasi buku, uang tunai dll. atau donasi tenaga lo sebagai volunteer, dan yang berhubungan dengan kelangsungan taman baca, silahkan distalk, difollow dan dimention twitternya.

Hidup budaya membaca Indonesia! Hidup aktivisme kepemudaan!

8.9.12

1. Ternyata hidup itu memang tidak bisa lempeng-lempeng aja, kalo nggak ada ups and downs, hidup nggak akan maju

2. Inspirasi itu bisa datang dari mana saja, hanya kita berani mengolahnya bersama imajinasi dan kerajinan berpikir atau tidak

3. Individualitas itu penting. Menjadi komunal juga penting. Imbangi dengan baik

4. Cinta, kalau kita tidak mengikuti the triangular theory of love-nya Santrock mungkin kita nggak akan menemukan cinta sejati, men, yang di novel-novel itu ternyata di alam asli ya teori itu....

5. Buku, gue gak bisa hidup tanpa buku asli. Internet kadang hanya sebuah bullcrap bila dibandingkan dengan buku

6. Pengalaman percintaan berkembang, tapi ternyata menutup hati sementara juga perlu ya, tapi nggak perlu hipokrit juga

7. Fokus itu kata sakti. Nggak semua orang bisa fokus, pun nggak semua orang bisa multitasking.

8. Anti-kemapanan, memangnya buruk ya? Bukannya mau jadi diri sendiri yang unik dan ingin berdiri sendiri itu nggak papa ya?

9. Kebhinekaan dan persatuan di negara ini sepertinya harus dipertanyakan

10. Ikhlas adalah unsur terpenting dalam kehidupan
Sudah dua bulan lebih gue menginjakan kaki kembali di tanah air, akhirnya gue mulai coping with situations yang ada sebagai manusia Indonesia kembali, Insya Allah yang punya kualitas internasional juga (amin). Ada satu hal, yang nggak bisa dibilang sepele juga sih, tapi kayaknya udah mendarah-daging di komunitas kehidupan di Indonesia dari Sabang sampai Merauke, yaitu salam-salaman. Nah dari dua kalimat tadi, apa hubungannya? Yaitu, baru setahun tinggal di negara barat, gue sempat lupa dengan tradisi salaman sama orang lain, termasuk yang lebih tua, nah loh.


Kurang lebih pas masih sebulan habis pulang, gue kalau ketemu guru memang selalu mencoba untuk salaman, cium tangan, tapi masih aja ada awkward feels gitu. Apalagi pas gue dan temen baik gue, Melody, datang ke kantor radio buat siaran beberapa kali, dia dengan sopan dan santunnya sama satpam dan siapapun di kantor yang dia kenal dia salaman cium tangan, gua pikir, buset ini anak baek bener ya, sopan bener, gaul tapi tetep aja siapapun disalamin, guepun ngikutin dia salaman sama siapapun yang dia salamin karena gue merasa gak sopan kalo gua gak salaman. Udah gitu, waktu gue jagain Taman Baca Bulian (taman baca yang dimotori teman-teman gue dimana gue volunteering aktif di sana, mungkin gue akan ngepost tentang taman baca ini), anak-anak yang udah selesai baca dan mau pulang mereka ngehampirin gue, "Pulang dulu ya kak," terus mereka nyodorin tangan, oh, mereka mau salaman, eh pada cium tangan. Sopan dan hormat banget.

Satu tradisi salaman yang besar dan semua orang pasti pernah lihat atau datang, Halal Bi Halal. Ini emang pake bahasa Arab judulnya, tapi tradisinya sangat mengakar di kehidupan Indonesia bro-sis, khususnya yang beragama Islam. Halbi, di manapun, pasti selalu akan ada salamannya. Misal kalau di sekolah, guru berjejer kemudian murid satu sekolah baris buat salam cium tangan satu-satu minta maaf.

Di sana, salaman itu hanya untuk hal-hal yang formal aja. Kalo ingin ngucapin selamat, atau greetings, goodbyes sama orang yang sudah dikenal dekat, biasanya kita pelukan, lebih mendalam dan berkesan. Misalnya waktu gue ngasih selamat graduation buat temen gue, tapi kita gak deket banget, kita pelukan aja, terus gue say goodbye sama guru-guru favorit karena mau pulang ke Indonesia, kita pelukan. Sementara pas latihan interview job di pelajaran bahasa Inggris, diajarinnya pake jabat tangan, sejauh ini yang gue lihat berjabat tangan di Amerika ya itu doang, sama apabila ada pemenang lomba hadiahnya dikasih sama petinggi-petinggi gitu.Yang gue lihat, hubungan antar orang dekat di sana itu dibuat untuk sangat intimate, lebih heart-to-heart eventhough hanya berteman di sekolah dan sama guru, tapi sekalinya nggak kenal mereka nggak akan mau intimate. Tak kenal tak akan sayang, dan sekali mengenal akan sayang.


Selama di sini, gue pikir budaya salam-salaman ini sangat Indonesia loh, gue belum menemukan hal serupa terjadi di negara lain, setidaknya yang gue lihat dari film dan pantauan langsung yang nggak banyak. Mungkin budaya salam-salaman dan cium tangan adalah bawaan dari budaya komunitas Muslim yang besar di Indonesia, sehingga mempengaruhi keseluruhan kehidupan berbudaya di Indonesia, nggak peduli suku, agama dan ras semua orang Indonesia juga suka salam-salaman dan cium tangan tanda hormat sama orang yang lebih tua. Coba, kalau di negara lain, orang Arab kalau ketemu temen sejenis salaman dan cipika-cipiki sih, orang Katolik kalau ketemu Paus juga cium tangan, tapi adakah yang menjadikan salaman dan cium tangan itu sebagai gaya hidup yang mengakar semua orang? Bangsa mana sih yang anak kecilnya sedari bayi udah diajarin "Ayo salim dulu sama kakaknya,"?

Tradisi ini seharusnya dipertahankan, tapi tujuannya positif. Tradisi ini harus mencerminkan bahwa bangsa Indonesia itu adalah bangsa yang tahu sopan santun dan saling menghargai. Tidak seharusnya menunjukkan bahwa ada perasaan gila hormat dan senioritas oleh kalangan tertentu. Salaman itu untuk memperkuat silaturahmi dan bukan mencari kehormatan. Salaman juga menandakan bahwa kita ini sebagai makhluk Tuhan yang sederajat dan tidak berbeda di mata Tuhan.
 

Copyright 2010 Singa Betina yang Terjebak.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.