26.11.13
12.11.13
6.11.13
Gue mengikuti sebuah akun Twitter yang cukup terkenal yang concern untuk memperkenalkan bahasa dan kebudayaan di dunia, bahkan sempat mengikuti komunitas mereka dan 'menaruh nama' sebagai pengurus regional, tetapi tidak bertahan lama, karena ternyata gue nggak begitu memiliki visi yang sama dengan ini komunitas.
Sesuai namanya, akun ini bermaksud memberikan fakta-fakta tentang kebahasaan dan pengetahuan tentang banyak bahasa, gue cukup senang membaca tweets dari akun ini karena personally menambah wawasan gue di vocabulary dan grammar bahasa lain, tetapi semakin ke sini, beberapa tweets-nya malah tidak sejalan dengan namanya : Bahasa Dunia! dan bio-nya yang bertuliskan "Language Activist".
Mengapa gue bilang nggak sejalan, alias nggak konsisten? Karena begini:
1. Bahasa dunia itu ada banyak sekali. Menurut BBC Languages, ada sekitar kurang lebih 7000 bahasa. Mengapa yang dibahas hanya bahasa-bahasa populer dipelajari saja?
2. Harusnya, sebagai (yang bilangnya) "Language Activist" akun ini bisa nambah wawasan banyak orang di sana tentang adanya 2471 bahasa yang terancam keberadaannya di dunia karena bentar lagi punah. UNESCO Atlas of the World's Languages in Danger memetakan, ada 146 bahasa di Indonesia yang ada di tingkat vulnerable dan sudah termasuk 2 bahasa yang sudah punah.
Lihat dua tweets terakhir obrolan insan ini? |
4. Tweet yang dilontarkan di atas bilang bahwa: “Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa, cekoki saja dengan bahasa asing.” Menurut gue tweet ini kontradiktif, apalagi akun itu menamakan dirinya Bahasa Dunia dan membuka semacam les bahasa asing di banyak tempat dan mengajak pengikut akun ini untuk belajar bahasa asing, jadi akun ini ingin menghancurkan sebuah bangsa? Apakah seorang aktivis cara bicaranya seperti ini? Sampai tulisan ini di-publish, tweet ini belum dihapus.
Menurut pandangan gue, makna kata ‘aktivis’ itu strong banget. Nggak bisa kita ngaku-ngaku “Gue aktivis,” karena menjadi aktivis itu butuh dedikasi. Gue berpendapat, dedikasi itu perlu pengakuan orang banyak dan benar-benar memahami bidang di mana ia aktif itu secara mendalam, ya semacam expert gitu, biasanya pun aktivis nggak nyadar kalau dia aktivis sebelum ada orang yang nyebut-nyebut “Dia aktivis.”.
Beda dengan enthusiast, semua orang bisa mengaku enthusiast karena dia antusias di bidang itu dan sedang/ingin belajar, atau bahkan memang sebenarnya sudah ahli tetapi memang mencoba rendah hati, hehehe (ada beberapa dosen gue yang menaruh kata enthusiast di bio-nya padahal gue tau dia udah ahli di bidang itu banget). Enthusiast bisa menjadi aktivis loh tanpa disadari, kalau dia antusiasnya dengan bidang tertentu konsisten dan dia dengan senang hati, dengan ikhlas mengerjakan, memelajari hal yang ingin dia dalami tersebut, serta jangan lupa, membuat aksi nyata tentang apa yang ia dalami tersebut.
Kalau menurut gue ya, menjadi aktivis itu harus rendah hati, open-minded, berjalan di samping dan bukan di depan, merangkul dan bukan merasa paling benar. Sepengalaman gue bergaul dengan teman-teman yang real activist, semua bidang aktivisme menurut mereka penting, hanya saja memang setiap aktivis harus bisa fokus di satu bidang sebagai bentuk mendukung bentuk gerakan aktivisme lain. Tujuan aktivis itu juga bukan berkuasa, tapi bisa melihat sisi positif dan negative secara seimbang dari suatu hal dan mengharmonisasikannya di dunia maupun di lingkungannya dengan baik untuk kehidupan yang lebih baik.
Itulah mengapa, menurut gue, penting banget untuk berhati-hati dalam menulis di sosial media, karena pastinya akan banyak multitafsir dari pengikut akun atau teman-teman kita. Menunjukkan kepribadian yang asli, berpendapat tentang apa aja boleh banget dan bebas sekali di media sosial, tapi juga seharusnya kita bisa menekan arogansi, lebih objektif lebih baik, apalagi jika akunnya diikuti oleh banyak orang, semakin terkenal harusnya semakin berhati-hati dalam berkicau, harusnya semakin ‘merunduk’ you know, peribahasa “Padi makin berisi makin merunduk”?
(Again, bagi pemilik akun ini gue ucapkan selamat dan sukses, karena gerakannya semakin besar ekspansinya, semoga ke depannya gerakan ini nggak sekedar bergerak ke belajar bahasa dan sharing tentang kebudayaan aja tapi juga dipertajam dan memperdalam studi kebudayaannya, kalau bisa based on culture journals dan tulisan-tulisan para ahli budaya dan linguistik biar makin mendalam memberikan fakta dan mengedukasi.)
21.10.13
I am an Indonesian female who was born in 1994. I grew up in a very kind family that teaches me a lot about life, because we were upper-middle class and turned upside down when the father and the mother stopped working in the same time, got debts, and now trying to start all over again with efforts to become closer to God. I went to various kinds of academic environment: I spent my elementary years in with bourgoises, kids that mostly came from rich family, experience different kinds of bullying every year, but the school itself taught me very well and shape me. In middle school I was a mediocre in a strong peer-group environment and the school helps me adaptating with middle class life. Then, in high school, I was something, even every year of my high school life I made myself proud of the achievements I got, it was my golden years so far, I went on an student exchange for free for a year, I compete in a lot of competitions and win big time, I join great organizations, I led an internationally funded community development project, became a young journalist in a national youth magazine, became a young reporter and announcer for a national radio private news station, I met great people and get great connections, it's all outside of my mediocre high school that just helps me to get diploma I need, and somehow helps me to easily do those activities without minding academic too much. Then now, I enroll psychology major in one of prestigious universities in the country, although I found out my passions in writing, cultural research, fine arts, and travelling already and I have a dream that I can become an anthropologist or a travel writer, although since I know my real passions I know for sure I want to take anthropology as my life even I already have plannings for my life, until the national public university enrollment test result said that I got psychology for major for me to study for approximately four years, after months, I realize that I face the personality and confidence deficiency, probably because of I still cannot fit in to the academic community, false consciousness, or I still cannot face the reality that maybe God want to be sincere for all of this. And here I am on a 19 going on 20 dilemma and doubts of everything, I know I am a bright person, I have very high potential for many things, it's for me to choose my own path of life, I don't want to drown in fallacies that I put myself into. I am curious, what will be the next chapter of my life after I wrote this crap. Thank you and good night.
Sincerely,
19-year-old self. (whose soul is trapped and not passionate by the time she's writing this)
8.9.13
Di sekitar kita ternyata banyak sekali orang inspiratif, siapapun dia, sedekat apapun dengan lingkungan kita, kalau kita nggak peka sama inspirasi sekecil apapun yang diberikan, kalau kita nggak perhatian ke lingkungan kita, kalau kita nggak terbuka pikirannya, kita akan melewatkan banyak pelajaran berharga untuk hidup kita, kita jadi memperlambat perbaikan diri kita, kita yang rugi.
31.8.13
Sudah tiga bulan lamanya gue nggak menulis. Benar-benar suatu prestasi yang tidak membanggakan sama sekali.
Apa kabar? Gue harap, blog ini masih punya nyawa, setidaknya hidup bersama post-post lama yang ada. Agak awkward rasanya menulis lagi di sini. Bahkan gue aja lupa cara berbahasa gue yang asli dan paling asyik untuk ngeblog apa. Things going on since May. Terakhir post adalah ketika gue mendapat kabar bahwa gue nggak dapat SNMPTN Undangan, hal itu cukup bikin gue down dan kehilangan gairah untuk melakukan banyak hal, mulai dari menggambar, membaca, sampai menulis. Menyanyi, tiga bulan ini, benar-benar satu-satunya media pelepasan stres gue, apalagi sejak tayangan Stand Up Comedy Indonesia di TV juga sudah mulai jarang gue tonton.
Libur panjang ini, gue struggling untuk bisa berkuliah di universitas impian, atau setidaknya, apapun kesempatan yang Tuhan kasih, gue udah pasrah dan tetap akan berusaha maksimal. SBMPTN gue lalui pertengahan Juli kemarin, di sebuah SMA dengan angka yang, bisa dibilang, memang angka keberuntungan, nomor peserta SBMPTN gue aja banyak mengandung angka keberuntungan, hehehe. Bukannya percaya takhayul angka, tapi enath kenapa, angka-angka yang menurut kita bagus ada saja rezeki dan serendipity yang akan berjalan di situ. Selain itu, gue juga sempat ikut SIMAK. Gue milih Antropologi Sosial UI di pilihan pertama di SNMPTN Undangan dan SIMAK, khusus SBMPTN, gue dan nyokap membuat kesepakatan untuk memilih Psikologi UI di pilihan pertama, disusul Antropologi UI dan UGM.
Di sela SBMPTN dan SIMAK, gue juga magang di penerbit PlotPoint sebagai admin media sosial. Pikiran gue pun dengan sukses terpecah, antara persiapan dan hasil tes perguruan tinggi dengan beban pekerjaan di kantor magang. Di kantor magang, gue juga bertemu dengan orang-orang hebat yang mendukung perkembangan diri gue banget. Di sana pula lah, gue bertemu dengan ukulele dan belajar bermain untuk pertama kali.
Gue juga sempat stress di minggu-minggu menjelang pengumuman SBMPTN, sangat menekan pemikiran dan sempat terjadi mental breakdown. Bahkan sempat ada indikasi gejala gangguan kesehatan mental, yang sampai sekarang pun masih dalam penyelidikan apakah gue benar punya gangguan itu (please jangan ada yang takut sama gue). Pengumuman SBMPTN menjelang bulan puasa pun menjadi obat.
Beberapa waktu berselang, di pengumuman SIMAK UI, tidak lulus. Memang, mungkin memang sudah jodoh gue di Psikologi UI.
Selain itu, ada dua event yang gue lalui di tiga bulan ini. Pertama, Team Building Pengurus Taman Baca Bulian, di mana pertama kalinya menginap bersama teman-teman baik tercinta dari Taman Baca.
Ada juga Orientasi Nasional INAYpSch 2013 bersama keluarga AFS, di mana gue jadi panitia Akomodasi dan Konsumsi untuk mengorientasi adik-adik yang akan berangkat untuk program AFS dan YES ke belasan negara tahun ini. Yang terakhir cukup exhausting, karena event 10 hari yang memakan tenaga, pikiran dan tanggung jawab tinggi ini dibarengi dengan Orientasi Belajar Mahasiswa di UI, jadi harus bolak-balik site Orientasi AFS dan ke UI, back and forth. Jadi kontribusi gue di Orientasi AFS sangat merasa kurang maksimal dalam membantu, again, gue pun sempat mental breakdown 10 hari itu. Tapi Orientasi AFS ini gue belajar banyak sekali hal dan bikin gue belajar untuk lebih ikhlas dan lebih terbuka untuk berbagai hal, selain itu koneksi pertemanan gue juga bertambah, setidaknya, gue udah nggak sesungkan itu lagi sama kakak-kakak AFS.
Dan yang terakhir gue kerjakan, dan baruuu saja selesai adalah rangkaian Kegiatan Awal Mahasiswa Baru Universitas Indonesia dan rangkaian untuk Fakultas Psikologi masih berjalan sampai 27 September nanti. Untuk di tingkat fakultas, akan ada Program Penyesuaian Diri, tetapi I still have no clue about it though. Bersama kawan-kawan baru di Psikologi UI, gue yakin gue bisa survive jadi Maba dan bisa menyesuaikan diri di lingkungan dan sistem baru di universitas. Gue bangga bisa punya teman baru seperti kawan-kawan Psikologi UI 2013 :)
Di UI, gue punya rencana buat ikut beberapa UKM atau kegiatan, karena pilihan yang banyak, gue belum berani bercerita, apa yang akhirnya gue pilih dan gue akan geluti, makanya, jadi surprise aja ya. Tunggu cerita selanjutnya! #halah *berasa artis*
Sementara gue ingin menyesuaikan diri, kembali ke hobi lama, membangkitkan diri gue yang lama, yang cinta membaca dan menulis, membiasakan diri dengan menulis. Gue tau gue bisa kembali. Hanya butuh waktu untuk menyembuhkan diri lagi, hanya perlu bersabar saja.
Satu kata buat kita semua.
SEMANGAT!
30.5.13
Aku gue aku
Gue mengaku
Aku menggue
Kenapa gue mengaku aku
Sementara aku ke gue aku
Gue aku
Gue itu aku
Gue tak ingin terus aku
kalau semua tentang aku
yang lain kan juga "aku"
Di atas juga ada Aku
Aku tak cuma gue
tak ingin terus aku
Gue mengaku
Keakuanku
Gue mau
Pergi dari banyaknya aku
di diriku