Di akhir program pertukaran pelajar tahun lalu, gue berkenalan dengan anak-anak delegasi Malaysia, yang gue lihat, ramah-ramah, baik hati dan seriously tidak sombong. Gue dan salah satu temen gue memberanikan diri untuk berkenalan waktu itu, di Bandara Chicago O'Hare sewaktu kami transit menuju Washington DC untuk reorientasi kepulangan. Kesan pertama bertemu anak Malaysia adalah, they are some kind of Indonesians with different dialect. That's it. Cara mereka berkenalan ya layaknya kenalan sama orang Indonesia, kehangatannya sama, yang beda hanya dialeknya saja kok. Salah satu temen gue asal Rangkasbitung yang satu sekolah sama anak Malaysia pun cerita bahwa mereka gampang dekat karena merasa berasal dari daerah yang serumpun.
Gue dan temen gue kemudian memberanikan diri untuk bertanya: "No offense, kalian tahu nggak sih soal Malaysia pernah menganggap salah satu produk kebudayaan Indonesia bagian dari Malaysia?" dan jawabannya adalah, "Kami tak tahu, bahkan kami baru dengar," kami mendengarnya cukup kaget, dan kami mencoba menceritakan apa yang pernah terjadi. Mereka ada yang menegrnyitkan dahi dan malah bilang itu bukanlah tindakan terpuji, karena mereka tidak pernah merasa mengklaim.
Untuk-orang-orang yang nggak open-minded pasti bakal bilang, mana ada maling mau ngaku? Tapi, come on, they are teenagers dan sebagai pelajar pertukaran, kita harus jujur, bersikap terbuka dan mendukung komunikasi antarbudaya dengan baik. Jadi yang gue bilang, mereka 100% jujur.
Malaysia itu punya tiga kelompok etnis pokok, ada Melayu, Chinese dan India. Makanya mereka bilang "Malaysia, truly Asia" because literally, negara mereka terdiri atas difusi kelompok etnis besar yang ada di Asia. Mereka sudah cukup kaya kok, ngapain mereka harus maling?
Ada lagi alasan untuk kita nggak jelek-jelekin Malaysia sebagai maling, ini dia poin-poinnya:
- Dari mana akar Bahasa Indonesia? Melayu Riau. Orang Malaysia sebagian besar terdiri atas suku apa? Melayu. Jadi ibaratnya Malaysian is the English people (karena Melayu baku) dan Indonesia is the Americans (karena Melayu-nya sudah mengalami perkembangan) iya nggak?
- Rendang diklaim Malaysia, sewot? Nggak perlu. Kalian tahu the state of Negeri Sembilan di timur Malay Peninsula? Sebagian besar penduduknya terdiri dari keturunan Minangkabau, dan you know what, Rendang itu punya orang Minang, bukan totally Indonesian kan jadinya?
- Reog diklaim Malaysia, sewot? Siapa juga sih yang pernah ngeklaim? Orang di Malaysia ada settelement keturunan Jawa Timur gitu, mereka cuma mencoba melestarikan kebudayaan leluhurnya di tanah tempat tinggal, bukan ngejadiin identitas negara. Salah satu Menteri Malaysia aja orangtuanya berasal dari Ponorogo.
- Tari Pendet diklaim Malaysia? Siapa juga sih yang pernah ngeklaim? Orang itu salahnya Discovery Channel masukin tarian itu ke iklan pariwisata Malaysia, bukan salah orang Malaysia kan?
- Batik diklaim Malaysia? Kapan? Orang udah didaftarin sebagai Warisan Dunia dari Indonesia kok, harusnya bangga dong dipakai Malaysia, mereka mengagumi keindahan seni kita, tuh Nelson Mandela hampir setiap event pake Batik kok gak ada yang sewot?
- Sipadan-Ligitan? Nggak usah dibawa dendam ah, orang itu kita sendiri yang ingin bawa ke Lembaga Arbitrasi Internasional kan? Lagian cuma berapa pulau sih, dua atau tiga, ya sudah lah. Kita masih punya 17508 pulau buat diurus, kalau ada negara lain mau ngeklaim, capek juga kaliiii.
Di sini, gue nggak mau ngebela Malaysia habis-habisan, I just write based on the reality I saw, either on TV or in the reality dan bahan bacaan gue. Gue cinta Indonesia dan bangga jadi orang Indonesia yang memiliki toleransi, makanya gue prihatin dan menulis ini. Gue di sini pengen mengajak kita semua untuk bareng-bareng nggak mudah terprovokasi sama hal-hal gak penting yang berpotensi memecah belah hubungan kita dengan negara lain, apalagi negara yang, akui sajalah, serumpun dengan negara kita. Kita harus lebih objektif memandang hal-hal kebudayaan yang cakupannya luas, yang skalanya internasional seperti ini.
Kalau suka nonton Upin-Ipin, mereka aja tanpa ragu masukin Susanti sebagai anak Indonesia yang tinggal di Malaysia yang sering cerita apa saja sih kebiasaan-kebiasaan orang sini, artinya kan mereka mau menjaga cultural understandings sesama serumpun dengan sangat baik.
Kita hanya beda jajahan sama cakupan wilayah politik saja kok, nggak perlu kita dengki sama mereka. Mendingan kita bergerak aja, menjalin persahabatan, jadikan mereka sebagai panutan yang bikin 'malu' lah, masak serumpun tapi kita nggak semaju mereka? Dulu mereka memang pernah belajar dari kita, sekarang kenapa kita harus malu sih belajar dari mereka?
Mereka tidak pernah bermaksud jadi maling. Sementara di Indonesia masih banyak banget yang jadi maling kesejahteraan rakyat sendiri. Hayo, maling teriak maling?