Norak. Itu kata yang banyak
orang lontarkan jika melihat orang kampung plesir ke kota besar, tapi bagaimana
jika keadaannya dibalik? Saya, bisa dibilang, juga menjadi norak ketika melihat
hamparan sawah begitu luas saat saya dalam perjalanan berkunjung ke
Rangkasbitung, Banten. Kesan penat perkotaan sama sekali hilang dari pikiran
saya, ketika menikmati pemandangan indah yang memberi kesan segar dari jendela
kereta Rangkas Jaya yang dingin karena AC. Saya tidak ragu mengambil gambar
sawah yang sangat luas itu dengan kamera telepon genggam, walau banyak orang
duduk di sekitar. Ini akan jadi tiga hari yang menyenangkan untuk lebih
mengenal greater Banten, berkunjung ke tempat yang jarang orang Jakarta
kunjungi untuk berlibur, hanya dengan Rp. 15000 dan berangkat dari stasiun
Tanah Abang jam 8 pagi.
Pemandangan sawah di kanan
kiri cukup saya nikmati sekitar 1,5 jam sampai saya tiba di stasiun Rangkasbitung,
stasiun kecil yang awalnya tidak terlihat istimewa, namun jika melihat bangunan
tak jauh dari stasiun, kita akan tahu bahwa stasiun ini adalah bagian dari
sejarah pendudukan Belanda di Indonesia. Saya dijemput oleh ayah sahabat saya,
Ajeng, untuk pergi ke rumahnya, tempat saya akan menginap selama dua malam di
Rangkasbitung. Saya disambut oleh banyak angkot dan becak yang ada di sekitar
terminal dan pasar Rangkasbitung. Kendaraan bermotor yang berlalu lalang di
sini tidak banyak, itu artinya polusi udara dan polusi suara sangat minim,
udara yang saya hirup agak berbeda dari Jakarta, lebih ringan. Kesan pertama
saya setelah beberapa menit melihat kota Rangkasbitung adalah, menenangkan dan
menyegarkan.
 |
Alun-alun Rangkasbitung dan Masjid Agung Rangkasbitung |
Ajeng sangat fasih dengan
kota kecamatan berpenduk sekitar 118.000 orang ini dari Ajeng lah saya
mendapatkan banyak sekali cerita tentang kota ini. Darinya, saya jadi tahu
kalau Rangkasbitung berasal kata dari kata rangkas dan bitung
yang berarti bambu, dahulu sebelum Belanda datang, daerah Rangkasbitung adalah
hutan bambu. Ajeng mengajak saya melihat sawah terhampar cantik dengan background
Gunung Karang di dekat rumahnya, lalu menunjukkan jalan ke perkebunan kelapa
sawit milik negara yang agak jarang dikunjungi orang, dan tak lupa mengajak
saya berkeliling downtown Rangkasbitung. Ya, seperti banyak kota-kota di
Indonesia, Rangkasbitung juga punya downtown yang cukup ramai
dikunjungi, tapi jangan bayangkan kermaian ukuran Jakarta. Ramai di sini sangat
sederhana, asal ada anak sekolah pacaran di alun-alun, pujasera ramai dengan
PNS, atau kafe-kafe kecil tempat nongkrong remaja yang buka, tidak perlu banyak
mobil atau motor. Saya juga tidak menyangka bahwa di kota kecamatan ini ada
supermarket skala besar dan sebuah mall, “Iya, tapi ini mall-mallan,
mall nggak jadi,” kata Ajeng. Benar sih, baru kali ini saya ke mall yang
cuma punya satu lantai. Ada tempat-tempat penting untuk sightseeing di
ibukota kabupaten Lebak ini, seperti Taman Makam Pahlawan Sirna Rana, Vihara
Ananda Avalokitesvara yang ngejreng, Gereja Jemaat yang bangunan Belanda
juga, serta Masjid Agung Rangkasbitung, ini menggambarkan cukup tingginya
keberagaman dan toleransi beragama di sini, saya sempat berpikir bahwa penduduk
Rangkasbitung cenderung homogen dalam urusan agama dan agak mendiskreditkan
minoritas, nyatanya tidak. Di sebelah alun-alun, terdapat Kantor Bupati Lebak
yang dulu merupakan kediaman dari penulis jaman Belanda, Multatuli, sayangnya,
kami tidak berani masuk ke kantor kabupaten untuk ‘mempelajari’ sejarah hidup
penulis “Max Havelaar” itu lebih dalam.
 |
Gereja Belanda |
 |
Jalan Multatuli |
Rangkasbitung merupakan settlement
Belanda yang besar di zamannya, karena dulu di sini ada tambang minyak. Terbukti,
saya melihat banyak sekali rumah-rumah Belanda di sekitar downtown
Rangkasbitung, mudah sekali menemukannya tak jauh dari Kantor Bupati Lebak dan setu
(danau kecil) di tengah kota. Kebanyakan rumah Belanda itu sekarang telah
menjadi rumah penduduk sekitar, ada yang dibiarkan seperti aslinya, ada yang
dipugar, ada juga yang menjadi aula dan kantor pemerintah. Selain rumah Belanda
dan bangunan stasiun, ada Jalan Multatuli yang merupakan jalan protokol menjadi
bukti bahwa orang-orang sadar akan kejayaan tempat ini pada masa pendudukan
Belanda. Rangkasbitung adalah tempat yang kaya sejarah bagi saya, sayang tidak
ada tempat bersejarah yang ‘ramah turis’ di sini. Ah, andai saja ada Museum
Multatuli atau museum lain di Rangkasbitung…
Rangkasbitung lebih ramai
ketika sore dan malam hari, khususnya di bagian downtown. Di alun-alun,
para pemuda asyik bermain basket dan voli, ada pula sepeda tandem dan delman
untuk berkeliling, penjual makanan pun mulai banyak. Makanan yang paling saya
rekomendasikan untuk dicoba adalah Pais Gurih, bentuknya seperti lontong, namun
agak lebih besar dan dibakar, bumbunya kemerahan dan ada potongan kecil jeroan
ayam di dalam nasinya. Saya juga merekomendasikan Sate Bandeng khas Banten yang
rasanya manis gurih, cocok untuk dimakan bersama nasi. Ada juga Sop Durian yang
juga enak, kalau minuman ini Ajeng sangat rekomendasikan. Makanan khas Banten
cukup murah, kisaran harganya Rp. 5000 sampai Rp. 15000
 |
Vihara Rangkasbitung |
Di antara keramahan dan
kesederhanaan Rangkasbitung, masih ada hal-hal yang mengganjal di hati saya. Rasa
kehidupan Jakarta di sini memang hampir tidak terasa karena hampir semua orang
berbicara bahasa Sunda dialek Banten dan orang-orangnya lebih santun, tetapi
ternyata banyak sekali minimarket dan tempat nongkrong anak muda yang
berkembang di sini, seperti kafe-kafe blended coffee dan distro yang
menggambarkan bahwa anak muda kota ini terlihat mulai konsumtif. Selain itu,
ada saja bangunan pemerintah yang terbengkalai, seperti pembangunan SMAN 1
Rangkasbitung yang masih setengah jadi dan somehow tidak terlihat akan
dilanjutkan dalam waktu dekat “Yah dari dulu segini-segini aja sih pembangunan
sekolah gue,” kata Ajeng, “Di sini banyak bangunan yang abandoned.” Padahal
anggaran pembangunan SMA itu sekitar 2 milyar lebih (saya tahu dari plang
pembangunannya), sementara di sisi lain kota, billboard Ratu Atut untuk
sadar membayar pajak berdiri manis.
Serang menjadi tujuan saya
mengeksplorasi Banten di hari berikutnya. Perjalanan saya dan Ajeng ini
merupakan sudden journey (terinspirasi dari National Geographic Traveler
J),
kami tidak punya rencana untuk pergi ke sana. Cukup membayar Rp. 15.000 per
orang, kami dapat menikmati kereta ekonomi AC Kalimaya Express tujuan akhir
Merak. Perjalanan sekitar satu jam lagi-lagi menyuguhkan pemandangan sawah dan
Gunung Karang, bahkan ada perhentian kereta yang ada tepat di tengah sawah! Di
beberapa titik, saya dapat melihat seperti pemukiman besar di kaki Gunung
Karang, saya pikir mungkin saya melihat bagian dari kota Pandeglang. Stasiun
Serang ternyata lebih kecil dari stasiun Rangkasbitung, cukup membingungkan,
karena Serang merupakan ibukota Provinsi Banten, saya pikir seharusnya ibukota
provinsi memiliki stasiun yang lebih besar dan tidak seterbengkalai ini, tapi
kemudian kami tahu ternyata stasiun itu adalah bangunan cagar budaya, pantas
saja terlihat dibiarkan saja seperti aslinya.
 |
Stasiun Serang |
 |
Masjid Agung Serang |
 |
Kantor Gubernur Banten |
 |
Alun-alun Serang |
 |
Billboard Atut |
 |
billboard atut lagi |
 |
lagi-lagi billboard atut... |
Ajeng memberi tahu saya
pendapatnya tentang kota Serang, “Serang itu kota yang nanggung, besar enggak,
kecil juga enggak,” katanya, “Makanya gue pribadi kurang suka, daripada ke
Serang, gue lebih suka main ke Jakarta sekalian.” Saya juga sempat membaca di
ulasan tentang kota ini dari internet, ada yang bilang bahwa Serang bukan
tempat untuk mencari keunikan. Semua hal itu telah saya buktikan, atau mungkin
sebenarnya kami datang di waktu yang kurang tepat. Dari hasil tanya-tanya saya
ke polisi dan orang-orang di sekitar, jika ingin mencari makanan khas Serang
harus menunggu hingga sore atau malam hari. Kami bisa juga berkunjung ke situs
Banten Lama, di mana kita bisa lebih banyak eksplor tentang sejarah Kerajaan
Banten dan peninggalan purbakala, tetapi untuk berkunjung ke sana memakan waktu
cukup lama, padahal waktu kami di Serang hanya 3 jam karena harus naik kereta
terakhir ke Rangkasbitung. Alhasil, kami hanya jalan-jalan seadanya di Serang.
Tempat pertama yang kami
kunjungi di Serang adalah Alun-Alun dan Kantor Gubernur Banten di pusat kota,
mirip dengan Bunderan HI-nya Jakarta. Ada dua alun-alun di sini, barat dan
timur, saat kami bertandang sedang ada pameran lukisan di alun-alun barat.
Kantor Gubernur Banten terlihat sangat rindang, dihiasi gapura artistik bak
kerajaan di depan kantornya, tepat di seberang kantor Gubernur ada kantor
walikota Serang. Banyak sekali billboard di sepanjang jalan utama Kota Serang,
isinya muka Ratu Atut semua, mulai dari sosialisasi KB, Hari AIDS sedunia,
sampai program Jamsosratu yang billboardnya paling besar (dan penerapannya
hoax). Saya belum pernah lihat ada gubernur senarsis ini.
Setelah puas melihat-lihat,
kami sempat bingung berkunjung ke mana, karena kami tidak ingin masuk Mal
Serang penuh dengan makanan cepat saji yang sebenarnya bisa dengan mudah saya
temui di Depok, kami kemudian pergi ke Pasar Lama untuk makan siang, lagi-lagi
kami tidak menemukan makanan khas sini, kami kemudian makan siang di rumah
makan Padang dan saya menyempatkan diri untuk mencari oleh-oleh. Saya sempat
melihat ada bongkahan bebentuk lonjong yang diikat dengan sejenis daun kering,
“Itu gula aren, biasanya orang Baduy yang bikin, gue jamin, gula aren yang
begitu otentik, cuma ada di Banten,” terang Ajeng, saya pun mendapatkan
oleh-oleh pertama saya untuk Ibu di rumah. Kami beristirahat di Masjid Agung
Serang, begitu masuk, kami disuguhi arsitektur khas Banten dan ukiran ornamen
atapnya sangat detil, tempatnya juga sejuk sekali dan rindang. Sebelum pulang,
saya mengunjungi sebuah kios yang menjual makanan khas Serang, Nasi Bakar
Sumsum, kali ini kami datang di waktu yang tepat, saya mengantongi dua bungkus
Nasi Bakar untuk disantap di kereta ekonomi.
Bukan hanya pengalaman
jalan-jalan yang saya dapatkan dari berkunjung ke dua kota di Greater
Banten ini, tapi saya melihat sendiri betapa pembangunan di provinsi muda ini
tidak merata dan banyak sekali hal-hal yang luput dari perhatian pemerintahnya.
Saya melihat dan membandingkan Kota Serang dan Rangkasbitung yang keduanya
menurut saya stakeholder utama Banten, keduanya merupakan pusat
pemerintahan dan yang saya lihat hanya pusat pemerintahannya yang ‘didandani’,
tapi sebagian besar kabupatennya cuma punya jalan setapak yang susah dilewati
kendaraan, jembatan ambruk, dan susahnya akses karena transportasi yang kurang
memadai.
Saya juga mendapatkan
cerita-cerita keadaan sosial politik Banten dari Ajeng. “Ada wacana katanya
Lebak Selatan mau memerdekakan diri jadi kabupaten baru, biar pembangunannya
lebih merata dan lebih berkembang,” cerita Ajeng, memberikan cerita yang cukup
mengejutkan bagi saya. “Bagus dong, gue sih dukung banget, biar sejahtera nggak
ditinggalin terus, kasihan kan,” ucap saya, tapi Ajeng malah memberikan
pandangan lain, “Masalahnya, pendapatan daerah Kabupaten Lebak saat ini
sebagian besar datangnya dari hasil bumi Lebak bagian selatan, kalau mereka
memisahkan diri kita bakal dapat pendapatan dari mana lagi?” Ternyata isu
pemisahan ini cukup kontroversial, menarik, hal ini harusnya bisa menyadarkan
pemerintah Banten maupun pusat tentang ketimpangan pembangunan yang memang
terjadi. Tentang dinasti yang terjadi Banten saya pun mendapatkan cerita
menarik lain, “Atut itu ingin menguasai seluruh Banten, makanya dia bikin
dinasti kayak gitu, tapi cuma satu yang susah dikuasai Atut yaitu Kabupaten
Lebak, di sini ada dinasti sendiri,” kata Ajeng, “Bupati yang kemarin menjabat
itu Bapaknya, sekarang yang menjabat itu anaknya Bupati sebelumnya.” Saya
sempat melihat billboard di Alun-Alun Rangkasbitung, ada tulisan “Terima Kasih
Telah Mengabdi… 2003-2013” artinya 10 tahun menjabat, entah karena memang
dipercaya rakyat atau hal lain. “Politik di Banten itu masih primitif,” ujar
Ajeng, kalimat itu nendang sekali untuk mengomentari keadaan politik Banten
sekarang.
Tiga hari mengeksplorasi
Rangkasbitung, serta kunjungan singkat ke Serang, lebih dari cukup. Daerah-daerah
yang saya kunjungi di Banten sebenarnya kaya akan sejarah, pernah jaya pada
masanya, pula potensi wisata yang tidak kalah menarik dari pantai-pantai di
Banten. Namun, penduduk di kedua daerah itu kini menjadi korban politik dinasti
yang menyebabkan buruknya penanganan pemerintah dalam hal pembangunan karena
sibuk mengurusi kekuasaan. Entah kapan kita bisa melihat kejayaan dan
kesejahteraan itu lagi di tanah Banten.
Travel
Tips Banten:
-
Untuk menikmati
makanan khas dan suasana yang lebih lively, datang lah ke pusat kota di atas
mulai jam 4 sore sampai jam 8 malam.
-
Kereta diesel
adalah moda transportasi yang sangat disarankan bagi teman-teman yang ingin
mengeksplorasi Banten dan menikmati perjalanan yang membebaskan diri dari
penatnya Jakarta. Dengan Rp. 4000 sudah bisa naik kereta ekonomi diesel tujuan
Merak berangkat dari Angke, untuk kereta express AC berangkat dari Tanah Abang
ada kereta Rangkas Jaya tujuan Rangkasbitung harganya Rp. 15000, dan untuk
tujuan Serang-Merak ada kereta Kalimaya harganya Rp. 30000.
-
Kota-kota yang
dilalui kereta seperti Rangkasbitung, Serang, Cilegon, sampai Merak merupakan
tempat wisata yang terjangkau dan berbeda dari biasanya, beranilah untuk
bereksplorasi sendiri dengan bertanya dengan orang sekitar, preferably coba
ngobrol dengan polisi atau marbot masjid.
-
Jika teman-teman
ingin berkunjung ke tempat-tempat di Lebak Selatan, seperti Pantai Sawarna dan
perkampungan Baduy, butuh waktu dan biaya yang lebih besar karena transportasi
agak sulit serta membayar guide. Lebih baik datang pada bulan Mei-Agustus
menghindari cuaca buruk.