30.5.13

Gue aku gue
Aku gue aku
Gue mengaku
Aku menggue
Kenapa gue mengaku aku
Sementara aku ke gue aku
Gue aku
Gue itu aku
Gue tak ingin terus aku
kalau semua tentang aku
yang lain kan juga "aku"
Di atas juga ada Aku
Aku tak cuma gue
tak ingin terus aku
Gue mengaku
Keakuanku
Gue mau
Pergi dari banyaknya aku
di diriku

(Mei 2013)

27.5.13


I just don't accomplish one of my life target, but who cares? There's another way right?

But,

Do you ever wonder,

how if you can't have things that you planned to have and you know (or you think) that you're competent enough for having it?

You never know about future anyways.

What are you going to do?

Where are you going then?

I am thinking about this right now, why don't you?


25.5.13




Gue hampir selalu menjadi minoritas di berbagai kesempatan.
Bahkan di saat gue jadi bagian dari suatu mayoritas, gue akan selalu menjadi anggota yang paling berbeda di dalam kelompok mayoritas tersebut.

And I'm getting used to it.

Ketika temen-temen gue masih suka jalan-jalan ke mall, jalan-jalan, makan-makan, dress like hipsters, make fun about exes and falling love with strangers.
Gue sukanya berkutat di perpustakaan, bersama buku gue, atau melakukan kegiatan volunteering atau sibuk menulis dan ikut lomba. Kalau nggak, I prefer stay at home to watch movie by my self in my portable DVD.

Ketika temen-temen gue dan jutaan siswa SMA yang berumur sama dengan gue sibuk mempersiapkan UN dan ketar-ketir saat kelas 12 di tahun 2012
Gue malah leha-leha belajar asyik di negeri orang bersama 92 teman lain di tahun 2012

Ketika temen-temen gue mudah sekali mencari sahabat sehati sejiwa setiap kali masuk sekolah dan mereka menikmati masa sekolahnya.
Gue baru menemukan sahabat-sahabat gue ketika gue keluar dari lingkungan sekolah dan gue jujur aja nggak begitu menikmati masa-masa sekolah gue.

Dan lagi,
Ketika temen-temen gue sibuk pacaran, sibuk putus nyambung dan cari gebetan. Gue udah capek mikirin hal yang begituan, padahal belom pernah pacaran. #lho

Oke, skip!



See?

Despite of my 'sad' stories about always being a minority, makin ke sini gue baru nyadar kalau, menjadi minoritas atau menjadi mayoritas dari suatu kelompok itu adalah tergantung pemikiran dan juga kemauan lo sendiri.
Bahkan, menjadi mayoritas atau minoritas itu bisa juga karena keberuntungan lo. Misalnya ketika lo ikut suatu seleksi atau lomba, kan yang akan terseleksi jadi yang terbaik hanya sebagian kecilnya kan?
Atau saat kelulusan, malah yang beruntung itu kalau lo lulus dan anak yang lulus itu 99%nya sementara yang 1% itu minoritas yang kurang beruntung.

Nggak semua orang berani jadi minoritas dan nggak semua orang pula nyaman menjadi mayoritas kan?
Setiap sisi punya kelebihan dan kekurangan masing-masing:


Mayoritas

Enaknya
- Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing ;)
- Suaramu besar dan sangat berpengaruh. Karena yang bersuara sama denganmu itu banyak orang.
- Nggak perlu capek-capek buat adaptasi

Gak Enaknya
- Harus pintar-pintar menjaga perkataan dan tindakan ketika masuk ke kalangan minoritas. Yah adaptif lah.
- Kadang kalau termasuk mayoritas, ketika lo ngomong satu hal yang beda dikit, lo bisa aja will be looked down into sama yang lain.
- Karena lebih komunal gitu, pemikirannya jadi gak begitu bebas dan nggak bisa stand out. Bisa jadi perkembangan diri atau prestasi mereka stagnan aja ketika mereka terlalu nyaman jadi mayoritas.



Minoritas

Enaknya
- Karena jumlah orang tidak sebanyak mayoritas, maka biasanya para minoritas akan lebih cerdik dan pemikirannya bisa lebih jalan untuk mengakali bagaimana caranya survive dan stand out
- Nggak banyak saingan karena persaudaraan antar anggota erat. Mudah dikenal sama orang lain juga
- Mental lebih kuat untuk menghadapi semua hal yang datang dari kelompok mayoritas.

Gak Enaknya
- Jumlahnya yang sedikit dan terlihat lebih aneh dari kebanyakan orang (in any kind of weirdness) bikin mudah dihujat sama orang yang masih nggak biasa dengan orang macam ini
- Harus caper, SKSD, apapun yang usahanya lebih ekstra untuk convince people bahwa mereka layak dan sangat sayang untuk dilewatkan apabila tidak dijadikan teman. *true story*
- Selalu diunderestimate



Back again, yang gue cantumin adalah berdasarkan pengalaman yang gue alami ya. Kalau ada yang punya pendapat lain silakan loh.
Entah kenapa, gue lebih menikmati diri gue sebagai minoritas. I just love it. Gue ngerasa bahwa unsur individuality lebih keluar ketika lo jadi minoritas dan lo dengan atau tanpa disadari akan struggling lebih sehingga menghasilkan hal-hal yang bahkan lo sendiri nggak nyangka.

Walau benar kejadian, orang-orang minoritas di Indonesia banyak yang tertindas dan lain-lain, HEY, mereka mencoba bangkit dari keterpurukan yang pernah dialami loh, dan mereka lebih belajar dari pengalaman mereka untuk jadi orang yang lebih baik di masa depan.

Coba, orang sukses lebih sedikit dari pada orang yang nggak sukses atau kebalikannya?


Kalau menurut lo gimana?

22.5.13



Berawal dari serpihan atom mikroskopis
Yang tumbuh di kertas putihku
Ratusan jam kemudian
Berkembang jadi titik
Titik tinta yang panas dingin
Kemudian jadi noktah
Noktah itu terasa makin mengotori kertasku!
Lalu aku muak
Aku ingin cuci noktah-noktah absurd itu dari kertasku
Tapi intuisiku cuma diam dan bimbang
Kucoba berpikir keras
Haruskah kucuci semua tanpa sisa?
Bolehkah kertasku kosong selamanya?


(2010)

Apakah selama ini pendidikan bangsa Indonesia telah berkembang pesat? Apakah pendidikan Indonesia kualitasnya menyaingi produk negeri jiran, Malaysia? Bagi masyarakat Indonesia yang tidak cuek, mungkin akan merasa malu jika melihat perbandingan kualitas pendidikan kita dengan negara tetangga. Bukan semata-mata karena Malaysia jajahan Inggris yang mengedepankan politik etis, tetapi karena semangat juang dan teknologi yang mendukung.

            Banyak yang mengecap Malaysia adalah negara “tukang ikut-ikutan” tapi kok, masih banyak pelajar Indonesia di sana? Berarti siapa yang ikut-ikutan? Banyak orang kita yang belajar tekonologi di sana, alasannya sih untuk membuat bangsa kita lebih canggih dan global, tapi, melihat biaya dan kemampuan bangsanya (yang suka malas) menjangkau alat teknologipun menjadi kendala besar, apalagi, teknologi yang praktis bisa makin membuat bangsa kita malas.

            Penting bagi para penerus bangsa, untuk meneruskan bagaimana jalan keluarnya agar rakyat Indonesia mendapat pendidikan yang baik dan bisa bergaul di dunia global tanpa peralatan atau media yang mahal, melihat kondisi ekonomi Indonesia sedang carut marut karena adanya korupsi dan pemborosan APBN. Salah satu yang bisa menjawabnya adalah, meningkatkan minat baca.

            Mengapa membaca? Buku merupakan media yang tidak mahal dibanding dengan komputer, handphone, dan sejenisnya, memang kalangan bawah masih sering mengeluh tentang mahalnya buku, tetapi pemerintah bahkan masyarakat kalangan menengah dan atas bisa mengatasinya, tanpa membuang banyak biaya. Coba bandingkan, apabila pemerintah memberi bantuan komputer gratis, pengeluaran akan diminimalisir jika hanya memberi bantuan buku gratis dan jumlah anak yang terbantupun lebih banyak. Masyarakat biasa yang mampu juga dapat turut andil dalam pengembangan minat baca, seperti dengan menyumbang buku lama layak baca, atau membuka taman bacaan gratis.

            Sebelum mengembangkan minat baca, terlebih dahulu kita harus cek dan ricek tentang pengentasan buta aksara di desa dan daerah terpencil. Pemerintah telah mengadakan pusat kegiatan mandiri pemberantasan buta aksara, masyarakat juga bisa membantu lewat donasi maupun menjadi sukarelawan. Salah satu faktor utama kebodohan dan kemiskinan adalah buta huruf, maka dari itu, membaca merupakan kegiatan yang sangat penting.

            Coba kita bayangkan, betapa pentingnya membaca buku dalam kehidupan kita. Sebuah teknologi tidak akan berjalan tanpa pengetahuan penggunanya, maka mereka harus membaca buku panduan alat tersebut. Ada lagi, sebuah blog atau website pribadi dapat dijadikan buku, tetapi jika buku dijadikan blog akan sangat rumit. Kemudian, untuk mendapatkan info dunia, ada surat kabar dan majalah yang terbit rutin dan terjangkau dibandingkan harus bolak-balik warnet atau buka internet dengan peralatan berharga jutaan pula.

            Dengan begitu, kita bisa lihat bahwa membaca buku merupakan media yang gampang dijangkau, bahkan masyarakat kalangan bawah sekalipun. Membaca buku dapat menambah wawasan tanpa membaung waktu dan tempat. Buku adalah jendela dunia yang hanya bisa kita buka lewat membaca.  





ps.
Well, I was a better writer when I was 15 I guess. I made this essay for a Bahasa Indonesia lesson task at school when I was in 10th grade and  I haven't met most of my friends from Taman Baca Bulian yet that time. I'm pretty amazed, I feel like I'm reading someone's essay, not mine (Yes, Gladhys, you have to start to write good essays and stories again!). But seriously 1000% this essay is mine and I thought I never published it, so, feel free to comment


20.5.13

Sudah berapa lama gue nggak menulis?

Bahkan gue sudah gak inget kapan terakhir kali nulis fiksi atau esai, atau artikel, apalah itu.
Yang gue tau sampai bulan lalu, gue harus mendapatkan nilai bagus di UN dan bisa masuk universitas yang gue idam-idamkan sejak gue SD.
Which is, okay.
Tapi setelah UN, kelelahan gue untuk belajar sangat pintar membunuh hobi-hobi gue karena dia berhasil membuat gue hampir melupakan hobi-hobi gue dan menyulap gue menjadi seorang adolesen yang malas dan kurang kerjaan.
Saking kurang kerjaannya, gue sampai berpikir aneh-aneh tentang banyak hal, bahkan tentang diri gue sendiri. Bahkan secara ekstrem ingin mengubah diri gue, tapi selalu gagal. Itu semua buah dari kurang kerjaan gue.
Gue aja sekarang mati suri juga ngegambarnya karena bingung, semua wayang yang ganteng dan cantik gue udah gambar. Gue mencoba gambar raksasa tapi... entah kenapa stuck aja.
Menulis juga gitu. Thought Book gue hampir gak pernah diisi setelah UN, bahkan gue udah hampir gak pernah ngetwit karena nggak tau mau nulis apa di Twitter. Seakan, gue kena writers block (dan memang sudah kena sih) dan writers block adalah penyakit yang sejauh ini paling mematikan yang pernah dialami gue seumur hidup, gue pernah kena chikungunya, tapi penyakit itu bullshit dan bahkan tidak lebih berbahaya dari writers block. Karena writers block membunuh produktivitas dan semangat berkreasi gue, yang membuat gue gak bisa living life to the fullest.


Terus terang, gue malu, sedih, bingung.
I was so passionate.
Kenapa gue sendiri nggak bisa berperang melawan writers block ini.
Yang ternyata terus-terus gue salahkan
Ini bukan semata-mata karena writers block, ini pasti ada faktor-gue.
Malas.
Ada yang tau racun pembunuh malas secara cepat?
Eutanasia khusus kemalasan mungkin?


Setelah kemarin gue bertemu dengan teman baik gue yang sedang semangat-semangatnya ikut lomba menulis di mana-mana, walau dia punya motif lain, tapi who cares, he's writing with his passion gitu. Sementara kemarin di seleksi tahap dua AFS Jakarta, gue kebagian meng-observe seorang peserta cewek, namanya Ayunda, yang passionate untuk menulis dan sudah menerbitkan 14 buku seri Kecil-Kecil Punya Karya. Walau kabar baiknya dia bilang sendiri bahwa gue keren, dia sering baca blog gue dan terinspirasi dari gue, tapi tetap, gue hanyalah seonggok butir debu yang bahkan bisa muksa dengan tidak berarti, kapan saja.


Fiksi-fiksi gue sebagian besar tidak ada yang pernah selesai.
Semuanya karena gue menyalahkan writers block.
Tapi kalau semua penulis bisa menyelesaikan tulisan-tulisannya, kenapa gue nggak bisa?
Premisnya:
1. Gue adalah penulis
2. Semua penulis bisa menyelesaikan tulisan-tulisannya
Kesimpulannya:
Gue bisa menyelesaikan tulisan-tulisan gue.


Bagaimana mengimplementasikan silogisme itu di dunia nyata?


Ya, gue harus membangkitkan gairah menulis dari dalam kubur.
Menepis semua kenyataan bahwa writing devices (or drawing devices) gue terbatas karena gue gak punya gadget atau apa lah. Alasan apapun tidak diterima. Gue harus menulis.
Pusara ide yang lama mengendap, harus gue keruk.
Dengan apa?
Dengan semangat lah, masak dengan buldoser.

3.5.13

These are another drawings of mine. I need critics, comments, feedback or whatever. Just leave something in comment :D Enjoy my creations.


Oh iya, semua gambar di sini terinspirasi dari serial komik Wayang Purwa tahun 1956 karya Ardi Soma (yang diterbitkan kembali tahun 2002) dan gue modernisasi. Enjoy once again :)



Dewi Citrawati



Lovers



Women Mercenary





colored Princess

Dewi Anjani, Hanoman's mother before turned into a white monkey


Raden Sumantri, an excellent warrior



 

Copyright 2010 Singa Betina yang Terjebak.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.